Artificial Intelligence (AI)Â dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi jargon utama di dunia bisnis global. Dari perusahaan rintisan hingga korporasi raksasa, semua berlomba-lomba memamerkan strategi AI mereka. Ada yang meluncurkan chatbot untuk melayani pelanggan, membangun sistem rekomendasi produk, hingga berinvestasi besar dalam pengembangan model prediktif. Seakan-akan, tanpa AI, sebuah bisnis akan segera tergilas zaman.
Namun, euforia ini kerap menimbulkan jebakan: pola pikir "AI first" tanpa melihat kondisi internal perusahaan terlebih dahulu. Padahal, AI bukanlah sulap yang bisa langsung menyelesaikan masalah. Teknologi ini baru akan powerful jika ditempatkan pada titik yang tepat dalam alur kerja organisasi. Jika tidak, investasi raksasa berisiko menjadi sia-sia karena tidak menyentuh akar persoalan.
Kuncinya ada pada satu hal yang sering terlupakan: business process review.
Fondasi yang Terabaikan
Business process review dapat diibaratkan sebagai "general check-up" bagi perusahaan. Sama halnya dengan tubuh manusia yang butuh evaluasi kesehatan berkala, organisasi pun perlu menilai apakah alur kerja internalnya masih sehat, relevan, dan adaptif.
Banyak perusahaan yang tetap menjalankan prosedur lama meski konteks bisnis sudah berubah drastis. Ada kebijakan yang diwarisi dari dekade sebelumnya, tetapi terus dipertahankan dengan alasan "sudah dari dulu begitu." AI kemudian ditempelkan ke dalam proses yang usang ini, bukan menyederhanakan alur, justru menambah kerumitan.
Alih-alih menjadi solusi, AI berubah menjadi beban tambahan.
Suara Karyawan: Data yang Sering Diabaikan
Salah satu aspek penting dalam business process review adalah melibatkan karyawan. Mereka adalah aktor utama yang sehari-hari bersentuhan dengan proses bisnis. Dari merekalah informasi paling jujur bisa digali: tugas mana yang repetitif, prosedur apa yang menghambat, dan interaksi mana yang sering menimbulkan salah komunikasi.
Contoh sederhana, laporan bulanan yang terus dibuat manual, entri data yang rentan salah, atau alur approval yang berbelit. Semua itu bisa menjadi kandidat utama untuk otomasi berbasis AI. Demikian pula kebutuhan spesifik: tim penjualan ingin insight prediktif tentang prospek potensial, sementara divisi HR membutuhkan pemetaan sentiment karyawan untuk menekan angka turnover.