"Tot-tot wuk-wuk!" Begitulah bunyi sirene dan dentuman strobo yang tiba-tiba memaksa kita menepi di jalan raya. Sering kali, kendaraan itu bukan ambulans yang sedang membawa pasien kritis, bukan pula mobil pemadam kebakaran yang sedang mengejar waktu, apalagi kendaraan pengawalan resmi kepala negara. Fenomena inilah yang memicu keresahan publik hingga melahirkan gerakan sosial bertagar #StopTotTotWukWuk yang viral di media sosial setelah ricuh massa pada akhir Agustus 2025.
Gerakan itu bukan sekadar lelucon warganet. Ia merupakan akumulasi kekecewaan warga terhadap arogansi pengguna jalan yang menganggap dirinya berhak diprioritaskan. Meme dengan kalimat tajam seperti "Hidupmu dari pajak kami. STOP strobo dan sirene" beredar luas, menampar kesadaran bahwa fasilitas negara seakan telah berubah menjadi simbol status dan bukan alat keselamatan publik.
Fenomena ini membawa kita pada pertanyaan mendasar: apakah ruang jalan raya hanya milik mereka yang bersirene, atau ruang bersama yang dijaga etika dan hukum?
Landasan Hukum: Tidak Semua Punya Hak Utama
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan tegas menyebutkan, hanya ada beberapa jenis kendaraan yang berhak memakai sirene, strobo, atau rotator. Pasal 134 dan Pasal 135 mengatur prioritas jelas:
Ambulans yang sedang membawa pasien,
Mobil pemadam kebakaran yang sedang bertugas,
-
Kendaraan yang memberikan pertolongan kecelakaan,
-
Kendaraan pimpinan lembaga negara, dan
Kendaraan yang sedang dalam pengawalan kepolisian.