Kekalahan tipis 0-1 Timnas U-23 Indonesia dari Korea Selatan pada laga terakhir Grup J Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, Selasa (9/9) malam WIB, kembali memupus asa Garuda Muda untuk menembus level Asia. Indonesia menutup kualifikasi dengan empat poin sebagai runner-up grup, tetapi gagal menjadi salah satu dari empat runner-up terbaik yang berhak lolos ke putaran final. Sementara itu, Korea Selatan melaju mulus sebagai juara grup.
Hasil ini menyakitkan, tetapi sekaligus menjadi pengingat bahwa pembinaan usia muda masih menyisakan celah besar. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, selepas laga menyebut bahwa pembinaan Indonesia cukup baik di level U-17 dan U-20, namun lemah di jenjang U-21 hingga U-23. Karena itu, PSSI tengah menggagas regulasi baru, yakni kewajiban bagi klub Liga 2 untuk memainkan pemain U-23 sebagai starter.
Krisis Jam Terbang Pemain Muda
Pelatih Timnas U-23, Gerald Vanenburg, sudah berulang kali menegaskan bahwa pemain muda Indonesia kekurangan jam bermain di level kompetitif. Mayoritas pemain hanya menjadi pelapis, bukan pilihan utama. Dampaknya terlihat jelas di laga internasional: kalah ritme, pengalaman, dan mental dibanding lawan yang sudah terbiasa tampil reguler.
Di negara maju sepak bola seperti Jepang dan Korea Selatan, pembinaan usia muda tidak berhenti di akademi. Klub-klub besar memiliki tim cadangan atau tim junior yang terintegrasi dalam kompetisi resmi. Hal ini memberi ruang bagi pemain muda untuk bermain rutin, sebelum benar-benar promosi ke tim utama. Indonesia masih tertinggal dalam hal ini.
Memang sudah ada Elite Pro Academy (EPA) untuk U-16, U-18, dan U-20. Namun, selepas itu, jalur pembinaan seolah terputus. Pemain harus bersaing langsung dengan senior di Liga 1 atau Liga 2 tanpa transisi yang cukup.
Liga U-23: Solusi atau Beban Baru?
Muncul pertanyaan: apakah Indonesia membutuhkan Liga U-23? Dari sisi ideal, liga ini bisa menjadi wadah kompetitif yang menyiapkan pemain sebelum masuk ke tim senior. Regulasi usia akan menjamin menit bermain, dan pelatih nasional punya basis pemain yang matang secara fisik dan mental.
Namun, Erick Thohir menilai membuat kompetisi khusus U-23 sangat sulit diwujudkan dalam waktu dekat. Alasannya, kompetisi di Indonesia sendiri masih bergulat dengan masalah klasik: jadwal yang kerap terganggu, persoalan infrastruktur stadion, hingga finansial klub yang rapuh. Karena itu, opsi yang lebih realistis adalah regulasi di Liga 2 agar pemain U-23 mendapat jatah bermain signifikan.
Belajar dari Model Luar Negeri