Ketika kita bicara tentang pembangunan ekonomi nasional, narasi yang muncul umumnya berisi angka pertumbuhan, investasi besar, dan pencapaian makro yang mengesankan. Namun di balik angka-angka tersebut, tersembunyi ironi yang menyedihkan: kesenjangan yang melebar dan suara rakyat kecil yang kian sayup terdengar. Istilah Serakahnomics muncul bukan sebagai satire belaka, melainkan sebagai refleksi keras atas realitas yang kita hadapi bersama.
Serakahnomics adalah istilah kritis yang menggabungkan kata serakah dan economics. Ia menunjuk pada praktik ekonomi yang lebih mengutamakan akumulasi kekayaan kelompok tertentu, tanpa mempertimbangkan etika, keadilan, maupun dampaknya bagi kehidupan sosial. Istilah ini mungkin belum ditemukan dalam kamus resmi ekonomi, tetapi secara empirik, kita semua dapat melihatnya salah satunya dalam bentuk ketimpangan dan masih terjadinya korupsi anggaran.
Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan adanya mazhab baru dalam ekonomi, yakni serakahnomics. Fenomena ini menggambarkan keserakahan dalam ekonomi. Presiden Prabowo mengatakan, kekayaan Indonesia sangar luar biasa. Namun, banyak pihak yang mengambilnya atau maling yang tanpa jera merampas kekayaan tersebut. "Saya sedih mereka-mereka itu menurut saya sudah di arah bukan lagi masuk akal atau apa mereka ini dalam rangka sudah serakah," kata Prabowo dalam Kongres PSI di Surakarta, Minggu (20/7) malam (sumber: Â https://kumparan.com/kumparanbisnis/prabowo-ungkap-fenomena-baru-serakahnomics-di-ri-25V3ksF7yJc/full)
Namun,tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan siapa pun. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk merenung bersama. Saya pribadi sangat kagum dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Kongres PSI di Surakarta, Minggu (20/7) malam tersebut sebagai salah satu bentuk keprihatinan beliau, saya berpikir bagaimana kita bisa memulihkan etika dalam kebijakan publik, dan membangun kembali harapan bahwa ekonomi Indonesia masih bisa diarahkan menuju keseimbangan yang adil dan manusiawi.
Memahami Akar Masalah: Di Mana Kita Salah Langkah?
Pembangunan ekonomi Indonesia pasca reformasi telah menunjukkan banyak kemajuan. Angka kemiskinan menurun, sektor jasa dan digital berkembang, dan infrastruktur dibangun di berbagai daerah. Namun, kita juga masih menyaksikan sisi gelapnya: segelintir orang menjadi sangat kaya, sementara sebagian besar rakyat masih bergelut dalam sektor informal, dengan pendapatan tidak menentu dan akses layanan publik yang terbatas.
Kesalahan kita mungkin bukan pada ambisi pembangunan, melainkan pada kerangka etika kebijakan. Saat pembangunan lebih difokuskan pada pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan distribusi dan keadilan sosial, maka Serakahnomics pun tumbuh subur.
Menanamkan Etika dalam Ekonomi: Panggilan untuk Negara dan Masyarakat
Ekonomi seharusnya tidak bebas nilai. Di balik setiap angka pertumbuhan, ada manusia. Di balik setiap proyek, ada kehidupan sosial yang terdampak. Karena itu, seruan paling mendesak hari ini adalah mengembalikan etika dalam pembangunan.
Negara, sebagai pengelola mandat publik, memegang peran sentral. Pembangunan harus diletakkan dalam kerangka keadilan sosial, bukan sekadar efisiensi pasar. Dalam konteks ini, kita perlu: