Ketika pendapatan tak berbanding lurus dengan pengeluaran, dan kebutuhan hidup terasa selalu lebih cepat daripada laju gaji, maka kita sedang menghadapi sebuah dilema ekonomi yang nyata: uang makin sulit dicari, tapi makin mudah dihabiskan. Ungkapan ini bukan sekadar keluhan kelas pekerja urban, melainkan cermin dari dinamika ekonomi masyarakat Indonesia saat ini---terutama di kalangan generasi muda dan kelas menengah produktif.
Fenomena ini berkembang dalam ruang ekonomi yang penuh paradoks. Di satu sisi, kita hidup di era digital yang serba praktis, terbuka dengan berbagai peluang penghasilan baru. Namun di sisi lain, jebakan konsumsi instan, tekanan sosial dari media digital, dan beban biaya hidup yang terus menanjak justru membuat keuangan pribadi semakin rentan dan rapuh.
Mencari Uang: Makin Banyak Tantangan, Makin Sedikit Kepastian
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja berubah secara radikal. Pandemi menjadi katalis, mempercepat transformasi digital sekaligus menciptakan disrupsi struktural. Ribuan perusahaan mengubah model bisnis mereka, menggantikan tenaga manusia dengan teknologi, mengandalkan efisiensi, dan memangkas biaya operasional, termasuk tenaga kerja.
Bagi lulusan baru, persaingan mencari kerja tak hanya soal ijazah, tapi juga tentang keterampilan tambahan, koneksi, dan kemampuan adaptif. Bahkan bagi yang sudah bekerja, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), outsourcing, dan stagnasi upah menjadi momok nyata.
Mereka yang beralih ke gig economy---seperti menjadi pekerja lepas, driver online, content creator, atau reseller daring---pun menghadapi tantangan besar. Meski menawarkan fleksibilitas, jenis pekerjaan ini minim perlindungan sosial dan seringkali bersifat temporer. Hasilnya? Uang memang bisa didapat, tapi tidak menentu, dan sering kali tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup jangka panjang.
Perilaku Konsumtif: Mewah di Luar, Rapuh di Dalam
Di sisi lain dari dilema ini adalah realitas konsumsi yang semakin tak terkendali. Dunia digital membentuk budaya belanja impulsif. Diskon daring, layanan paylater, cashback, hingga tren unboxing membuat belanja terasa bukan lagi kebutuhan, tapi gaya hidup dan eksistensi. Perilaku ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang terus menyuguhkan "kehidupan ideal" orang lain---liburan ke luar negeri, mobil baru, gawai mahal, dan brunch di kafe estetik.
Tekanan untuk mengikuti tren hidup "standar media sosial" memunculkan fenomena FOMO (fear of missing out). Tak sedikit generasi muda merasa perlu tampil keren di Instagram meski harus mencicil lifestyle dengan utang konsumtif. Ironisnya, banyak dari mereka yang sebenarnya tidak mampu, namun memaksakan diri agar tidak tertinggal secara sosial.
Di sinilah uang menjadi mudah habis, bukan untuk kebutuhan primer, tetapi demi memenuhi ekspektasi lingkungan. Akibatnya, dompet bolong, tagihan menumpuk, dan kesehatan mental pun terganggu.