Dalam lautan manusia yang hendak menunaikan rukun Islam kelima, seorang sosok sederhana mencuri perhatian: Sutiah binti Sunyoto, 107 tahun, calon haji tertua di Indonesia yang berangkat dari embarkasi Lampung pada 7 Mei 2025. Bersama rombongan kloter 19 JKG, ia melangkah pelan, digandeng petugas haji menuju bus yang akan membawanya ke Bandara Radin Inten II, Lampung Selatan. Pemandangan ini bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga simbol kekuatan tekad dan keimanan yang melampaui batas usia.
Tidak hanya di Lampung, kisah serupa hadir dari Makassar. Sulaeman Rotte Bagulu, calon haji tertua di embarkasi Makassar, juga bersiap menempuh perjalanan suci. Dengan sabar, ia menjalani pemeriksaan kesehatan terakhir di Asrama Haji Makassar. Dua figur ini mengingatkan kita bahwa panggilan ke Tanah Suci bukan hanya untuk yang muda dan kuat, melainkan untuk siapa saja yang hatinya terpaut kepada Ka'bah.
Perjalanan mereka bukan tanpa tantangan. Di usia lebih dari satu abad, stamina tentu tak lagi sama. Namun dengan dukungan keluarga, petugas haji, dan fasilitas kesehatan yang semakin baik, para lansia tetap memiliki kesempatan menunaikan ibadah haji dengan aman. Potret petugas yang dengan sigap membantu Sutiah menaiki bus adalah refleksi nyata dari gotong royong dan kepedulian sosial yang menjadi ruh pelayanan haji Indonesia.
Fenomena ini juga mengajarkan kita tentang arti menunda dan prioritas. Banyak di antara kita yang menunggu 'waktu tepat' untuk berhaji, namun justru terjebak dalam penundaan tanpa kepastian. Sutiah dan Sulaeman menjadi teladan: tidak pernah ada kata terlambat untuk memenuhi panggilan Allah, selama hayat masih dikandung badan.
Pemerintah melalui Kementerian Agama terus berupaya meningkatkan pelayanan haji, termasuk memperhatikan kebutuhan jemaah lansia. Keberadaan petugas kesehatan, pendampingan intensif, hingga sarana transportasi yang ramah lansia adalah bukti nyata. Namun, ini juga menjadi pengingat bahwa akses keberangkatan haji perlu semakin inklusif, memperhatikan mereka yang memiliki keterbatasan fisik tanpa mengurangi hak spiritualnya.
Dalam konteks sosial, kehadiran calon haji tertua seperti Sutiah bukan hanya inspirasi personal, tetapi juga simbol keberhasilan keluarga dan lingkungan mendukung cita-cita spiritual anggota tertuanya. Banyak di antara kita yang mungkin lupa bahwa orang tua memiliki mimpi yang belum sempat terwujud. Kehadiran mereka di antara rombongan haji adalah pelajaran berharga: jangan abaikan impian orang tua, karena doa dan perjuangan merekalah yang sering menjadi pijakan kita selama ini.
Ketika bus yang membawa Sutiah perlahan meninggalkan Asrama Haji Lampung, terbayang senyum haru dan kebanggaan di wajah keluarga yang melepas. Barangkali, mereka sadar bahwa inilah perjalanan besar yang bukan hanya untuk diri Sutiah, tetapi juga untuk keluarga, kampung halaman, bahkan bangsa. Karena setiap langkah kecil Sutiah menuju Tanah Suci adalah langkah besar dalam sejarah keimanan keluarganya.
Semoga perjalanan Sutiah dan para jemaah lansia lainnya menjadi wasilah diterimanya haji mabrur. Dan semoga kita semua, yang masih diberi waktu dan tenaga, terdorong untuk tidak menunda ibadah, tidak menunda mimpi, dan selalu bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan.
Selamat jalan, Ibu Sutiah dan Pak Sulaeman. Selamat beribadah, semoga menjadi Haji Mabrur dan Haji Mabruroh. Doakan kami dari Tanah Suci.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI