Sejak saya mulai menulis cerita anak lebih dari 40 tahun yang lalu, dunia telah berubah begitu cepat. Dunia penerbitan anak kini tidak hanya dipenuhi dengan buku-buku yang terinspirasi dari imajinasi kita, para penulis, tetapi juga dengan kehadiran teknologi baru yang semakin canggih. Salah satu inovasi terbesar adalah kemunculan Artificial Intelligence (AI) dalam bidang penulisan.
Sebagai penulis yang telah menulis lebih dari 300 buku anak dan remaja, saya telah melihat banyak perubahan, dari cara kita menulis hingga cara anak-anak berinteraksi dengan buku mereka. Namun, meskipun teknologi berkembang pesat, ada satu hal yang tetap tak tergantikan dalam penulisan cerita anak: Emotional Intelligence (EI).
Pada awalnya, saya merasa sedikit khawatir. Bagaimana mungkin penulis manusia bisa bersaing dengan AI yang dapat menghasilkan cerita dalam hitungan detik? AI bisa menghasilkan teks, menyarankan plot, bahkan menulis cerita dengan gaya tertentu. Namun, setelah beberapa waktu, saya menyadari bahwa meskipun AI bisa meniru cara menulis, kecerdasan emosional manusia tetap menjadi kekuatan yang tidak bisa ditandingi oleh mesin.
Menghubungkan dengan Pembaca Lewat Perasaan
Setiap cerita yang saya tulis, saya selalu memikirkan pembaca saya, terutama anak-anak yang sedang membacanya. Saya bertanya pada diri sendiri, Apa yang mereka rasakan? Apa yang mereka butuhkan dari cerita ini? Ini adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional memungkinkan saya untuk merasakan dunia dari sudut pandang anak-anak---dari rasa takut mereka saat menghadapi kegelapan, hingga kegembiraan mereka ketika menemukan teman baru.
AI, meskipun sangat pintar, tidak bisa merasakan hal-hal seperti itu. AI tidak bisa merasakan kegembiraan seorang anak saat mereka membuka halaman pertama buku dan bertemu dengan karakter yang mereka idamkan. Itulah mengapa dalam penulisan cerita anak, saya merasa bahwa EI adalah jantung dari cerita yang bisa membuat anak-anak merasa terhubung dengan dunia yang saya ciptakan. Saya ingin mereka merasakan apa yang dirasakan oleh karakter-karakter itu, menangis dan tertawa bersama mereka, karena hanya dengan cara itulah cerita saya akan hidup di hati mereka.
Empati dan Karakter yang Hidup
Ketika saya menulis karakter, saya selalu mencoba untuk menghidupkan mereka. Saya ingin anak-anak bisa merasakan kecemasan, kegembiraan, dan rasa ingin tahu yang dialami karakter-karakter itu. Saya ingin mereka melihat diri mereka dalam karakter tersebut dan merasa seperti mereka adalah bagian dari cerita.
Itulah yang membuat perbedaan antara cerita yang dibuat oleh AI dan cerita yang ditulis oleh manusia. Empati adalah kekuatan utama yang digunakan oleh penulis untuk menciptakan karakter yang hidup. Sebagai penulis, saya bisa merasakan ketakutan karakter utama ketika mereka terjebak dalam situasi yang menegangkan, atau rasa bahagia mereka saat mereka menemukan teman sejati. AI, meskipun dapat menciptakan karakter yang tampak realistis, tidak dapat merasakan emosi yang mendalam yang membuat karakter tersebut terasa hidup.
Menyampaikan Pesan Moral yang Mendalam