Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Setelah Said (Bagian II): Dari Anti-Orientalisme ke Emansipasi Praksis

6 Juni 2025   15:42 Diperbarui: 6 Juni 2025   15:54 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah Said (Sumber: ai)

(Baca dulu bagian I: Setelah Said: Membongkar Anti-Orientalisme dan Diplomasi Simbolik Terhadap Palestina)

Narasi Kolonisasi dan Kritik Sadik Jalal al-Azm

Setelah membedah kegagalan struktural elite Palestina pasca-1948, penting bagi kita untuk menggeser lensa: bukan sekadar pada apa yang dilakukan Israel dan Eropa Barat, tetapi pada bagaimana kita sendiri memahami dan membingkai realitas itu.

Di tengah arus kritik terhadap hegemoni Barat, terutama pasca-penerbitan Orientalism oleh Edward Said, muncul suara pembangkang dari dalam dunia Arab sendiri. Salah satu yang paling tajam adalah Sadik Jalal al-Azm---seorang filsuf Suriah yang berani menggugat kenyamanan intelektual kaum anti-orientalis. Dalam esainya yang terkenal, Orientalism and Orientalism in Reverse (1981), al-Azm mengkritik bahwa banyak teks anti-orientalis justru terjebak dalam cara pikir yang ironis: mereka menolak stereotip Barat, namun sekaligus meneguhkan Timur sebagai korban pasif yang tak berdaya.

Baginya, fokus berlebihan pada narasi kolonisasi dan pada bagaimana "Barat menggambarkan Timur" telah mereduksi realitas kompleks masyarakat Arab menjadi sekadar soal representasi budaya. Kritik ini mengguncang, karena menyentuh akar dari kegagalan otokritik internal. Alih-alih bertanya: apa yang salah dalam kepemimpinan, institusi, dan kontradiksi internal kita?, banyak intelektual pascakolonial justru berhenti pada kritik terhadap cara Barat melihat kita.

It is as if Orientalism as discourse alone was sufficient to cause our decline, and not our real political and social structures

- Sadik Jalal Al-Azm

Kutipan ini menjadi nyawa kritik al-Azm. Ia menegaskan bahwa kejatuhan dan stagnasi politik dunia Arab tak bisa semata dijelaskan lewat cara Barat menulis tentang mereka. Ada struktur sosial-politik internal yang korup, disfungsional, dan fragmentaris---yang jauh lebih signifikan sebagai penyebab kegagalan emansipasi.


Dengan terus-menerus menyalahkan "Orientalisme" atau "imperialisme", kita menciptakan pelindung ideologis terhadap kegagalan elite sendiri. Al-Azm menyodorkan ajakan menyakitkan tapi mendalam: bahwa emansipasi sejati menuntut bukan hanya dekonstruksi narasi kolonial, tetapi juga otopsi jujur terhadap patologi internal.
Narasi ini, dalam konteks perjuangan Palestina, menggugah pertanyaan lebih luas: apakah kegagalan perlawanan berasal dari kekuatan kolonial semata, atau juga karena tidak adanya kapasitas internal untuk membangun kepemimpinan, organisasi, dan visi kebangsaan yang kohesif?

Indonesia dan Diplomasi Palestina: Antara Non-Blok dan Simbolisme

Sejak Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 hingga keterlibatannya dalam Gerakan Non-Blok, Indonesia memosisikan diri sebagai simpul moral dan suara penting bagi negara-negara Dunia Ketiga. Dalam kerangka tersebut, dukungan terhadap Palestina menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan ketidakadilan global, yang membentuk pilar ideologis utama diplomasi Indonesia. Namun posisi ini tidak pernah sepenuhnya bebas dari kompleksitas geopolitik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun