Mohon tunggu...
radbenitos
radbenitos Mohon Tunggu... Tutor - Nasionalis peranakan Batak-Jawa

Kawan anti nekolim. Dekmar. Kolom filsafat adalah kenyamanan bagi orang-orang woles maupun jalan ninja bagi clan Uchiha dan penggali sejarah ide.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Iri Kepada Kartini

21 April 2022   18:10 Diperbarui: 21 April 2022   20:31 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap pada tanggal 21 April, masyarakat memaknai hari spesial ini melalui update-an atau posting bertemakan baju khas daerah, atau pose pribadi dengan caption semangat emansipasi bagi kalangan kaum hawa. Padahal secara official kenegaraan tidak ada Keppres yang menetapkan tanggal kelahiran Kartini sebagai Hari Emansipasi Nasional, misalnya.

Makanya, di samping riuhnya bacaan tentang sosok Kartini, ada pula catatan yang membandingkan pahlawan wanita lainnya dengan keistimewaan Kartini. Seperti yang kita juga sudah ketahui, jalan perjuangan Kartini dimulai dari tulisan maupun korespondensi dengan koleganya yang bukan pribumi. Tidak pernah kita tahu Kartini menantang bedil seperti Christina Martha Tiahahu.

Narasi perbandingan Kartini dengan Tiahahu (panggilan yang disederhanakan) berfokus pada konsep ide kepahlawanan seorang Kartini. Tafsiran atau pendapat sebebas apapun sebenarnya sah-sah saja, saya pun tak menemukan muatan "iri" pada catatan-catatan yang beredar; semua masih dari koridor upaya mengklasifikasi arah perjuangan Kartini sebagai Pahlawan Nasional. Sebaliknya, jika Kartini disandingkan dengan Dewi Sartika, nah ini dia.

Kalau Kartini dianggap spesial karena upaya mencerdaskan kehidupan bangsa-terutama bagi kaum hawa-begitupun dengan Dewi Sartika. Seandainya saya cucu dari Dewi Sartika, boleh dong saya iri; kenapa tidak ada Hari Sartika?

Kehidupan Kartini adalah t r a g e d i. Hanya itu yang bisa didapat dari perbandingan dengan Dewi Sartika. Bahkan dia (Kartini) tak sampai menikmati masa tuanya sebagai warga "negara yang baru" yang ia perjuangkan.

Cerita kehidupan Kartini memang sudah populer sejak jaman Bung Karno masih remaja. Kisahnya dalam surat-surat pribadinya sudah dibukukan oleh Balai Pustaka sejak tahun 1922, adalah versi bahasa Melayu Door Duisternis tot Licht, 1911 (Selengkapnya klik, "Sejarah Hari Kartini 21 April, Kisah Hidup, dan Isi Surat-Suratnya  ")

Barangkali juga karena cerita Kartini-lah, menginspirasi jalan perjuangan Bung Karno yang tidak se-ekstrim Tan Malaka. Pada catatan saya sebelumnya, Radikalisme Tidak Bersumber Dari Masjid dan Pesantren, telah saya ungkap bahwa Soekarno pun tidak pernah turut dalam aksi demonstrasi, pemogokan, atau sejenisnya. Jalan ninjanya adalah retorika, sidang, pembuangan, naskah drama, dan tulisan (seperti Kartini).

Hubungan sehat, sekalipun tak baik-baik saja, antara Kartini dan orang-orang Belanda itulah yang diamati Bung Karno. Kartini tak menghadapi bedil, ia memperjuangkan ide humanisme sejak era politik etis. Metode perjuangan Kartini ternyata disambut baik oleh kalangan Belanda pro politik etis. Jalan ninja Kartini yang tidak membuatnya mati konyol, dibuktikan oleh Soekarno meskipun dengan kisah-kisah pembuangan.

Di kemudian hari pun seorang Pramoedya Ananta Toer terinspirasi oleh peninggalan Kartini. Pram lantas membukukan jejak-jejak kehidupan Kartini dalam realitas sosial yang dilawannya, "Panggil Aku Kartini Saja", judulnya.

Barangkali Pram juga sama terinspirasi seperti Bung Karno muda yang familiar dengan kisah Kartini; meskipun tak sampai mati konyol, orde baru tak seperti Belanda.

Iri 'kah Pram pada (era) Kartini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun