Setiap tetes hujan yang jatuh di atap rumah kontrakan saya di Bandung selalu mengingatkan pada masa kecil di ujung timur Indonesia, di ujung barat Pulau Flores, tempat air adalah hadiah yang harus diperjuangkan.
Jejak Langkah 3 Kilometer Demi Setetes Air
Bayangkan seorang anak kecil berjalan kaki sejauh 3 kilometer hanya untuk menimba air. Bukan untuk bermain, bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk kebutuhan hidup yang paling mendasar. Itulah realitas masa kecil saya di kampung halaman.
Ketika musim kemarau tiba, sumur-sumur mengering. Sumber air terdekat berjarak 1-3 kilometer dari rumah. Dengan ember plastik dan tekad besar, kami anak-anak kampung, berbaris menuju sumber air seperti pasukan kecil yang bertempur melawan kehausan. Kaki-kaki kecil melangkah di tanah berdebu, melewati jalan setapak yang terkadang licin dan berbatu.
Air yang kami bawa pulang bukanlah air jernih seperti yang mengalir dari keran di kota. Tapi bagi kami, air keruh itu adalah emas cair yang berharga. Setiap tetes digunakan dengan sangat hati-hati, untuk minum, memasak, dan sesekali untuk mandi.
Hujan: Berkah yang Dinanti-nanti
Bagi kebanyakan orang, hujan mungkin hanya cuaca biasa. Tapi bagi kami di ujung Flores, hujan adalah perayaan, adalah jawaban doa, adalah momen spesial yang dinanti sepanjang tahun.
Begitu rintik pertama jatuh, seluruh keluarga bergerak cepat. Ember, baskom, panci, bahkan semua wadah yang ada dikerahkan untuk menampung air hujan. Suara gemericik air yang jatuh dari talang ke dalam ember adalah simfoni terindah bagi telinga kami.
Air hujan ini kemudian menjadi andalan untuk mencuci pakaian, mencuci piring, bahkan untuk memasak. Kami belajar menghargai setiap tetes, tidak ada yang terbuang percuma. Air hujan mengajarkan kami arti penghematan dan kebersyukuran.
Dari Kekurangan ke Kelimpahan: Pelajaran Bandung
Merantau ke Bandung membuka mata saya tentang kemewahan air. Cukup putar keran, air jernih mengalir deras. Mandi tidak lagi dengan gayung kecil, tapi bisa berlama-lama di bawah shower. Awalnya, saya terpesona dengan kelimpahan ini.
Namun, kebiasaan masa kecil tidak mudah hilang. Melihat air terbuang sia-sia membuat hati saya perih. Ketika melihat tetangga membiarkan keran mengalir saat menyikat gigi, atau air hujan yang menggenang sia-sia di halaman, saya teringat pada perjuangan 3 kilometer itu.
Kembali ke Akar: Air Hujan di Tengah Kota
Akhir-akhir ini, Bandung sering diguyur hujan. Sementara orang lain mungkin mengeluh karena macet atau banjir, saya melihatnya sebagai kesempatan emas. Ember dan baskom kembali saya keluarkan, seperti ritual masa kecil yang tak terlupakan.
Air hujan yang saya tampung bukan karena tidak ada air PDAM, tapi karena saya ingin tetap terhubung dengan nilai-nilai hemat yang diajarkan kampung halaman. Air hujan ini saya gunakan untuk mencuci pakaian dan mengepel rumah. Setiap tetes yang tertampung adalah bentuk penghormatan pada perjuangan masa lalu.
Ternyata, kebiasaan ini juga relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Krisis air bersih kerap terjadi di berbagai daerah. Jakarta, Bekasi, bahkan beberapa wilayah di Jawa Barat pernah mengalami kelangkaan air. Apa yang dulu saya anggap sebagai kenangan masa kecil, kini menjadi solusi konkret menghadapi tantangan masa depan.
Merdeka Krisis Air Bersih: Gerakan Dari Rumah
MERDEKA KRISIS AIR BERSIH, bukan hanya slogan, tapi harus menjadi gerakan nyata dari setiap rumah. Kemerdekaan dari krisis air dimulai dari kesadaran kecil namun konsisten:
1. Menampung Air Hujan
Seperti yang saya lakukan, setiap rumah bisa menyediakan wadah penampung air hujan. Air ini bisa untuk keperluan non-konsumsi seperti menyiram tanaman, mencuci kendaraan, atau mengepel.
2. Menggunakan Air Secukupnya
Pelajaran dari Flores: gunakan air seperlunya. Matikan keran saat menyikat gigi, perbaiki kebocoran sekecil apapun, dan biasakan mandi dengan efisien.
3. Daur Ulang Air
Air bekas cucian sayuran bisa untuk menyiram tanaman. Air bekas wudhu bisa untuk menyiram toilet. Setiap tetes memiliki fungsi ganda.
4. Edukasi Keluarga
Ceritakan pada anak-anak tentang pentingnya air. Ajari mereka menghargai setiap tetes seperti emas cair.
Refleksi: Dari Tetesan Menjadi Sungai
Perjalanan dari ujung Flores ke Bandung mengajarkan saya bahwa krisis air bukan hanya soal ketersediaan, tapi juga soal sikap mental. Di kampung yang kekurangan air, kami belajar menghargai. Di kota yang berlimpah air, kita sering lupa bersyukur.