Ketika "Pembinaan" Menjadi Pembunuhan
Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo bukan sekadar tragedi individual. Ia adalah cerminan gelap dari sebuah sistem yang telah kehilangan kompasnya. Bagaimana mungkin dua puluh orang dewasa, yang seharusnya menjadi pelindung bangsa, justru bersatu dalam sebuah aksi yang menghabisi nyawa seorang pemuda 23 tahun? Pertanyaan ini menggema dalam keheningan yang mengiringi pemakaman Lucky di Kupang pada Sabtu lalu.
Anatomi Kekerasan Kolektif
Yang paling mengerikan dari kasus ini bukanlah fakta bahwa seorang senior menganiaya juniornya. Hal itu, betapapun salahnya, masih bisa dipahami dalam konteks individu yang kehilangan kendali. Yang benar-benar mengejutkan adalah keterlibatan dua puluh orang dalam tindakan barbarik ini. Ini bukan lagi tentang pembinaan yang salah kaprah, melainkan tentang degenerasi moral kolektif yang sistemik.
Bagaimana dua puluh manusia bisa kehilangan empati secara bersamaan? Bagaimana mereka bisa melihat seorang pemuda menderita dan justru melanjutkan penyiksaan hingga nafasnya terputus? Ini adalah pertanyaan yang menembus jauh ke dalam jiwa kemanusiaan kita.
Hierarki yang Meracuni
Institusi militer memang dibangun atas prinsip hierarki dan disiplin. Namun, kasus Lucky menunjukkan bagaimana hierarki tersebut telah bermutasi menjadi sistem penindasan yang membenarkan kekerasan atas nama "pembinaan." Senior tidak lagi dilihat sebagai mentor yang membimbing, melainkan sebagai penguasa absolut yang berhak melakukan apa saja kepada juniornya.
Dalam dinamika ini, Lucky bukan lagi seorang manusia dengan hak asasi yang harus dihormati. Ia telah tereduksi menjadi objek, boneka latihan untuk melampiaskan kekuasaan yang korup. Ketika manusia diperlakukan sebagai benda, maka kematiannya pun menjadi sekadar "kecelakaan operasional" dalam logika yang terdistorsi.
Budaya Keheningan yang Mematikan
Yang tidak kalah memprihatinkan adalah budaya keheningan yang memungkinkan praktik-praktik semacam ini terus berlangsung. Berapa banyak Lucky lainnya yang telah menderita dalam keheningan? Berapa banyak saksi yang memilih bungkam demi menjaga "kehormatan korps"?Â