Mohon tunggu...
Belarminus Budiarto
Belarminus Budiarto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MAHASISWA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Manusia Sang Peziarah

22 April 2021   17:53 Diperbarui: 22 April 2021   17:52 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apa arti Peziarahan? Bagi saya, “Peziarah” merupakan suatu perjalanan hidup menuju Sang Pengada, Wujud Tertinggi. Dia, awal dan tujuan peziarahan setiap ciptaan. Eksistensi manusia dalam realitas hanyalah sementara. Manusia hidup untuk jangka waktu yang pendek. Usia hidup mannusia berkisar antara 80-90-an ke atas. Pada saatnya manusia akan mati, hilang lenyap dari muka bumi. Manusia diibaratkan dengan seorang musafir yang menjelajahi dunia untuk menemukan suatu arti dan makna kehidupan. Dalam bahasa saya, eksistensi manusia dalam dunia ini ialah sebagai makhluk peziarah.

Eksistensi Manusia dalam realitas adalah sebuah proses “Menjadi” “Menuju Sang Pengada”. Peziarahan bagi-nya merupakan dasar, jalan, proses untuk mengenal siapa dirinya, sesamanya, dan Penciptanya. Peziarahan bagi eksistensi ”manusia” berarti “Manusia” hidup bersama orang lain. Tentu kita pernah mendengar pernyataan yang mengatakan bahwa “Manusia Peziarah” adalah kesehariannya dalam realitas yang merujuk pada suatu kehidupan dalam relasinya dengan segenap ciptaan. Tentu “Manusia Peziarah” bukan sekedar hidup dalam realitas. Eksistensi atau keberadaannya merupakan sebuah persiapan dan perjalanan hidup menuju keabadian.

Manusia sebagai makhluk peziarah berangkat dari aktivitasnya dan pengalaman kesehariannya dalam realitas bersama segenap ciptaan. Dalam peziarahan itu manusia dihadapkan dengan realitas yang diwarnai dengan berbagai bentuk kehidupan. Pengalaman suka, duka, tangis, tawa, bahagia, menderita  tidak pernah terlepas dari eksistensinya sebagai makhluk peziarah. Peziarahan “Manusia” mengarah kepada Sang Pencipta yang menjadi asal dan tujuan adanya manusia di dunia. Dia menjadi pusat kehidupan manusia. Sebelum manusia sampai pada tujuan itu tentu saja eksistensinya sebagai makhluk yang berakal budi perlu berelasi, mencintai, memberi dan menjadi bersama orang lain dan seluruh ciptaan yang ada dalam realitas.

Dalam realitasnya, manusia sering bertanya tentang eksistensinya, siapa penyebab keberadaannya itu. Pertanyaan yang muncul semacam itu bukanlah sesuatu yang asing lagi untuk dibahas. Hal ini sudah seringkali didengar dan menjadi sebuah pertanyaan yang mengandung makna terdalam bagi manusia dalam realitas. Di dalam realitas manusia bertanya tentang siapa dirinya, sesamanya, asal-usul keberadaannya, siapa penyebab utama sehingga ia ada sejauh yang ada berdasarkan apa yang dirasakan, diamati dan dialaminya itu.

Berziarah merupakan salah satu cara untuk menunjukkan eksistensi “Manusia” dalam realitas. Dalam peziarahan itu, manusia mencari keheningan, ketenangan hidup dan kebijaksanaan. Eksistensinya merupakan proses bagi dirinya dalam menemukan jati diri sebagai seorang peziarah. Sebelum berlangkah pada tahap selanjutnya peziarahan bagi eksistensi manusia mempertemukan dirinya dengan dua dunia yakni, dunia yang jahat (kegelapan) dan dunia yang baik. Peziarahan bagi “Manusia” memiliki makna yang penting dan mendalam. Dalam realitas, peziarahan membawa “setiap manusia” untuk hidup lebih baik menuju suatu kehidupan akhirat.

  • Pada umumnya banyak orang berziarah ke tempat-tempat yang suci dan penting berdasarkan iman kepercayaan mereka. Adapun makna yang mendalam dari sebuah perziarahan yakni untuk mengingat, melihat kembali, meneguhkan iman dan menyucikan diri agar dapat berelasi dengan segenap ciptaan dan Penciptanya. Dalam peziarahan itu manusia dihadapkan dengan berbagai bentuk kehidupan, terkadang ia merasa bahagia, sedih, tertawa, menangis, menderita. Situasi kehidupan semacam ini menjadi awal bagi eksistensi ”Manusia” dalam menjadi, menuju makna kehidupan terdalam dari perjalanannya.

Bagi sejumlah orang, berbicara mengenai “Manusia Peziarah” berarti berbicara tentang realitas, hidup keseharian manusia sebagai makhluk hidup. Manusia berhadapan dengan berbagai bentuk aktivitas, situasi hidup yang menjadi awal baginya dalam menjadi bersama segenap ciptaan menuju dunia lain, dunia kedua. Eksistensi “Manusia” sebagai makhluk peziarah diartikan sebagai suatu proses kehidupan menuju tujuan hidup, yakni, Sang Kehidupan. Sebelum sampai ke tujuan itu terlebih dahulu aku sebagai manusia menjalani kehidupan itu. Manusia hidup bersama orang lain, ciptaan lainnya dan alam semesta dengan berbagai bentuk kehidupan. Dalam realitasnya,  manusia dituntut untuk saling mencintai satu sama lain. Akan tetapi dalam kenyataanya tidak dipungkiri bahwa sikap saling membenci pun hadir mewarnai kehidupannya. Inilah yang menunjukan kodrat eksistensi “Manusia” dalam realitas sebagai makhluk peziarah.

  •             Pertama-tama dalam realitas berdasarkan kodratnya, “Manusia” merupakan makhluk yang berakal budi atau yang berkesadaran. “Manusia” sadar akan dirinya dan segala sesuatu yang mengitarinya. Kesadaran menggerakan manusia untuk menjalin relasi dengan sesama, alam ciptaan, dan Sang kehidupan. Sebagai mahluk sosial “Manusia” mestinya menyadari bahwa ia tidak hidup sendiri melainkan hidup bersama orang lain dan segala yang ada dalam realitas. Salah satu hal penting dalam realitas adalah berelasi. Berelasi inilah yang membantu “Manusia” untuk mengenal siapa dirinya, dan sesamanya sebagai ciptaan. Salah satu ungkapan dari seorang filsuf ternama di abad pertengahan yakni, Descartes dalam istilah “Cogito Ergo Sum” sebenarnya mau menunjukkan bahwa “Manusia” sebagai subyek menyadari bahwa dirinya merupakan makhluk yang bereksistensi, berpikir dan berkesadaran. Ketiga hal ini menunjukkan eksistensinya ada dalam realitas.

Kesadaran manusia akan eksistensinya dalam realitas sebagai sang peziarah mau menunjukkan bahwa pertama-tama ia hidup, menjalani kehidupan seperti, berelasi, mencintai, menjadi bersama orang lain. Dalam proses perziarahan “Manusia” yang berkesadaran sebagai makhluk peziarah tentu merefleksi, mengarahkan diri, mengenal dan menyadari bahwa tujuan peziarahannya adalah Sang Pengada, yakni Sang Kehidupan, Sang Kebaikan. Ketika manusia menyadari hal ini maka ia memiliki kebijaksanaan dalam mengenal pribadinya, sesamanya dan segenap ciptaan. Sebagai ciptaan yang sempurna, yang berakal budi manusia memiliki keinginan untuk hidup bahagia, damai, mencintai, memberi, berelasi bersama ciptaan lainnya. Untuk mencapai semuanya itu tentu saja “Manusia” yang bereksistensi perlu berjuang, menyadari mengapa dan kemana dia melangkah, mengarah, siapa tujuan utama yang hendak dicapainya.

Sejatinya, manusia merupakan mahluk yang berpikir. Apa yang mendorongnya untuk berpikir? ya, akal budi itu sendiri. Akal budi merupakan kodrat manusia atau yang biasa disebut bagian natural dari dalam dirinya. Jikalau manusia tidak memiliki akal budi, maka eksistensinya tidak ada, karena manusia seluruhnya diciptakan dengan akal budi. Setiap orang telah dianugerahkan akal budi oleh Penciptanya sehingga dapat dibedakan dari mahluk hidup lainnya. Artinya, dia adalah mahluk yang berpikir, berkesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang mencari kebenaran, kesempurnaan dengan segala pengetahuannya. Dari mana pengetahuan itu diperoleh? Pengetahuan manusia itu diperoleh dari pengalaman yang kemudian dikelolah dengan baik secara bertahap oleh akal budinya sehingga membentuk apa yang disebut pengetahuan. Pengetahuan ini juga tidak serta merta diterima begitu saja tanpa adanya pertimbangan, keraguan, observasi, sehingga kebenaran itu dapat diterima oleh akal budi.

  • Akal budi membantu manusia untuk berpikir dalam peziarahannya untuk mencari dan menemukan apa yang disebut dengan “Kesempurnaan sejati”. Eksistensi manusia sebagai sang peziarah merupakan mahluk yang mencari kebenaran atau kesempurnaan. Hakikat “Eksistensi manusi” bukan hanya ditandai dengan adanya akal budi, jiwa dan badan saja, tetapi lebih kepada bagaimana dirinya mengelolah akal budinya itu dengan baik untuk menemukian kesempurnaan hidup. Dengan memiliki daya berpikir yang luas “Manusia” dalam realitas mencari kesempurnaan sejati melalui perziarahannya. Manusia yang berakal budi adalah dia yang mampu berpikir dan  membentuk atau mencetus pengetahuannya di dalam realitas.
  • Pengetahuan yang diperoleh setiap orang tentu saja bertolak dari apa yang disebut keraguan akan sesuatu yang dirasakan dan dialaminya. Keraguan inilah yang merangsang manusia untuk bertanya siapa dirinya dal Sebagai mahluk peziarah, terkadang manusia mengalami pergulatan, tantangan dan terkadang ia bertanya mengenai dirinya, berkesadaran untuk mencari apa dan siapa sebenarnya kesempurnaan itu, dan apa yang menjadi dasar keberadaannya dalam realitas. Bertolak dari kodratnya sebagai makhluk yang beratio atau berakal budi, muncul pertanyaan dalam diri manusia, apa dan siapa sebenarnya dia dalam realitas. Melalui akal budi, manusia ada ide untuk berpikir dan berelasi.
  • “Manusia” yang berelasi berarti kesadaran dirinya yang mau bersahabat. Berelasi berarti Manusia mengada. Manusia bukan lagi makhluk yang hidup terkurung melainkan mesti keluar dari kurungan dunia untuk mengenal realitas. Salah satu cara untuk mengenal realitas adalah berelasi. Berelasi di sini berarti mau hidup bersama orang lain. Adalah mustahil jikalau dalam realitas manusia mengatakan ia bisa hidup tanpa orang lain. Jikalau demikian, di mana arti eksistensi manusia sebagai makhluk sosial?

Berelasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk tergantung waktu dan kondisi, entah itu melalui dialog atau komunikasi, dan sebagainya. Bagi manusia pada umumnya, berelasi, berarti menyadari bahwa ia bukan lagi hidup sendiri melainkan hidup bersama orang lain, alam sekitar dan realitas. Berelasi dapat dilakukan dengan siapa dan kapan saja. Berelasi yang diadakan manusia bertujuan untuk saling mengenal satu sama lain tanpa dibatasi ruang gerak dan waktu. Dengan berelasi, manusia saling mencintai, menghormati. Itulah yang dinamakan berelasi sempurna. Berelasi yang baik menghadirkan apa yang disebut dengan kebaikan bersama (Bonum Commune). Berelasi yang positif adalah awal yang baik bagi eksistensi “Manusia” sebagai makhluk peziarah.

  • Selain berelasi manusia dituntut untuk mencintai. Dalam realitas hidup manusia, berbicara tentang cinta berarti ada subjek dan objek yang terkandung di dalamnya yakni, manusia dan Sang Pengada atau imanen dan transenden. Bagaimana manusia mengenal yang imanen dan transenden itu dalam hidupnya, siapakah Dia  dalam kehidupan ini? Hal ini merupakan pertanyaan penuntun bagi manusia untuk mengenal realitas. Manusia diciptakan karena “Cinta”. Cinta menghadirkan manusia dalam realitas. Cinta yang hendak saya maksudkan di sini merujuk pada yang “imanen dan transenden atau sang pengada”. Manusia bereksistensi karenaNya. Sebagai makhluk yang berziarah “Manusia” membutuhkan cinta. Adakah manusia dalam realitas tidak pernah merindukan cinta? Dapatkah manusia hidup tanpa cinta? Cinta di sini merujuk kepada seluruh ciptaan yang dihadirkan “Sang Pengada”.

Cinta mengarahkan “Manusia” pada Cinta yang universal, tanpa batas. Manusia sebagai produk dari Cinta itu hendaknya juga membagikan Cinta itu kepada seluruh ciptaan yang ada. Cinta yang sejati tidak mengenal waktu, tidak memandang suku, agama, ras, budaya dan lain sebagainya. Manusia yang mencintai segenap yang ada menggambarkan cinta Sang Pengada kepada ciptaan-Nya. Apa yang akan terjadi jikalau manusia dalam hidupnya tidak saling mencintai? Akankah ia memperoleh kebahagiaan? Manusia yang dalam hidupnya tidak memahami arti cinta sejati akan memaknai cinta itu sebagai kepuasan semata, kebahagiaan yang memenuhi kebutuhannya.

Manusia yang bereksistensi dalam realitas juga tidak memungkiri adanya kebencian. Dalam diri “Manusia” terdapat sikap benci. Kebencian muncul dalam eksistens manusia ketika ada sesuatu yang tidak disukainya, ketika manusia memiliki persoalan dalam hidup, ketika manusia berbeda pendapat dengan orang lain, ketika manusia diasingkan, ketika dicaci maki, ketika ia tidak dihargai dalam realitas. Inilah awal kebencian tumbuh dalam pribadi “Manusia” sebagai sang peziarah. Akan tetapi, manusia yang berkesadaran juga memahami tentu dibalik kebencian juga terdapat cinta. Manusia perlu memahami dan menyadari bahwa cinta lebih kuat dari kebenciaan. Cinta menguasai kebencian. Pernyataan sebelumnya membuka kesadaran akan eksistensi “Manusia” bahwa cinta selalu bergandengan dengan benci, hal ini tidak dapat dipungkiri lagi dalam realitas. Dalam hal ini “Manusia” perlu menyadari bahwa ketika dirinya sudah mengenal apa itu cinta maka ia juga harus menerima apa yang disebut kebenciaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun