Mohon tunggu...
Anton Bele
Anton Bele Mohon Tunggu... Dosen - PENULIS

Dosen Tamu, pengampu Mata Kuliah Filsafat di Program Pasca-sarjana Interdisiplin Studi Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kuku

20 Januari 2022   18:45 Diperbarui: 20 Januari 2022   18:52 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kuku. Ah, apalah artinya kuku. Hanya seujung kuku dari hidup. Kecil, melekat pada jari, paling-paling ada arti untuk wanita, dihias dengan rupa-rupa warna. Apa gunanya kuku untuk seluruh Tubuh? Apa lagi untuk pribadi manusia. Tak ada gunanya.  Tumbuh potong, tumbuh potong. Habis. Hilang waktu untuk bicara kuku. Apalagi filsafat tentang kuku. Aneh.  Kosong. Tidak ada makna. 

Kuku. Coba bayangkan. Jari-jari tanpa kuku. Langsung ujung jari bersentuhan dengan segala benda, baik yang halus maupun kasar. Jari tidak terlindungi. Oh, jadi guna pertama, pelindung. Benar? Yah benar, pelindung ujung jari. Yang dilindungi, aman, nyaman. Itu peran pelindung. Mengamankan. 

Menyamankan. Hidup kalau tidak aman dan nyaman, apa gunanya hidup? Kuku erat kaitannya dengan rasa aman dan nyaman ini.  Kuku untuk menggaruk. Rasa gatal di badan langsung kuku beraksi. Menggaruk. Apakah ini bukan peranan yang penting? Hidup kita manusia ini sering hambar dan kurang bergairah karena kurang menghargai yang kecil terkucil. Kucil-mengucil pangkal  petaka.

Nafsu kita cenderung menyukai hal-hal yang besar dan agung. Seharusnya Nafsu itu menginginkan segala sesuatu  secara wajar, termasuk yang kecil dan kurang diperhitungkan seperti kuku di jari. 

Nalar kita terarah ke pengalaman dan pengetahuan yang menghebohkan. Padahal segala  hal yang luar biasa itu tersusun dari yang kecil-kecil. Kuku pun sangat bermanfaat tanpa harus dilihat dari tempat dan tampangnya. Naluri kita sering menganggap seseorang itu besar kalau penampilannya hebat baik dari sisi harta maupun kuasa. Hargai semua manusia tanpa kecuali. 

Itu seperti hargai kuku bersama jari, tangan dan tubuh seutuhnya. Nurani kita mencari ketenangan dan kedamaian. Ini membutuhkan kesunyian di tempat yang sepi, tidak hingar-bingar. 

Kuku pun demikian, tidak menonjol, pelan tumbuhnya dan siap dipotong demi keapikan jari pemiliknya. Nurani kita menyadarkan diri kita untuk berserah diri pada Pencipta. Empat N, Nafsu + Nalar + Naluri + Nurani adalah empat unsur yang mencirikan diri kita sebagai pribadi yang utuh, tidak ada satu pun dari empat N ini yang lebih utama dari yang lain. (4N, Kwadran Bele, 2011). 

Kuku mengingatkan diri kita manusia bahwa dia ada dalam kesatuan dengan tubuh kita. Kita manusia pun hanya seujung kuku dalam alam semesta ini. Alam tanpa manusia, tidak sempurna. Manusia tanpa kuku, tidak utuh. Syukur, TUHAN, DIKAU melengkapi diri kami manusia dengan kuku, melekat, menyatu dengan tubuh untuk menjadi kukuh dalam berjasa kepada sesama dan berbakti bagi DIKAU.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun