"Kalau benar-benar ingin berhenti, mengapa sampai sekarang saya masih mengajar?"Â
Pertanyaan itu kerap muncul dalam kepala saya. Di usia 30-an, keinginan untuk pindah karier begitu kuat. Saya membayangkan betapa tenangnya jika bisa membuka warung kelontong di rumah. Pagi-pagi menata barang dagangan, siang mengatur waktu sesuka hati, sore bercengkerama dengan keluarga. Namun kenyataannya, papan tulis tetap menunggu saya setiap pagi.
Bagi banyak orang, usia 30-an adalah fase kritis. Di satu sisi, kita sudah memiliki pengalaman dan keahlian. Di sisi lain, kebutuhan hidup terus bertambah. Cicilan rumah, biaya anak, hingga rencana masa depan tak bisa ditunda. Maka wajar bila muncul dorongan untuk mencari jalan yang lebih menjanjikan, baik dari sisi finansial maupun kebebasan waktu. Tetapi ketika profesi itu adalah guru, pilihan untuk berhenti ternyata jauh lebih rumit.
Antara Warung dan Papan Tulis
Menjadi guru bukan hanya soal mengajar di kelas. Ada ritme pekerjaan yang tak pernah benar-benar usai. Setelah bel sekolah berbunyi, masih ada administrasi yang menumpuk, rapat guru yang berlarut, hingga tugas evaluasi yang menunggu di rumah. Kadang, lelah itu begitu terasa.
Di tengah keletihan itu, bayangan dunia luar sering hadir. Membuka warung atau usaha kecil tampak lebih realistis. Saya kerap membayangkan betapa menyenangkan jika bisa mengatur jam kerja sendiri, tak perlu terikat jadwal sekolah, dan bisa menambah penghasilan. Apalagi teman-teman sebaya saya ada yang sudah lebih mapan dengan berbisnis. Mereka bisa liburan kapan saja, bahkan punya tabungan lebih untuk masa depan.
Kontras inilah yang membuat realitas gaji guru terasa makin menekan. Survei IDEAS (2024) menunjukkan lebih dari 70% guru honorer menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan. Angka itu jelas tak sebanding dengan beban kerja yang mereka jalani. Bahkan guru PNS di level awal pun masih sering merasa penghasilan bulanan belum mencukupi kebutuhan keluarga.
Di sisi lain, BPS mencatat jumlah wirausaha Indonesia terus meningkat, mencapai lebih dari 56 juta orang pada 2024. Angka itu kerap dijadikan bukti bahwa banyak orang berani melangkah keluar dari zona nyaman dan mencari kebebasan finansial melalui usaha sendiri. Fakta ini menggoda siapa pun, saya sendiri tak luput dari godaan itu.
Mengapa Sulit Berhenti?
Kalau usaha tampak lebih menjanjikan, mengapa banyak guru termasuk saya tetap bertahan?
- Alasan Emosional
Mengajar bukan sekadar profesi. Ada kebanggaan tersendiri saat murid memahami pelajaran. Tatapan berbinar ketika mereka berhasil menjawab soal sulit adalah hadiah yang tak bisa dibeli. - Alasan Sosial
Profesi guru masih sangat dihormati. Status ini membuat banyak orang enggan meninggalkan kelas. Membuka warung setelah berhenti kadang menimbulkan stigma: "Sayang sekali, sudah jadi guru kok malah jualan?" - Alasan Struktural
Guru PNS punya jaminan gaji tetap, tunjangan, hingga pensiun. Melepaskan semua itu sama saja dengan meninggalkan jaring pengaman. Sedangkan guru honorer, meski tidak seaman PNS, tetap merasa memiliki ikatan kuat dengan sekolah dan murid. - Alasan Personal
Ada ikatan batin yang terbentuk setiap hari. Suasana kelas, wajah murid, bahkan bau kapur tulis yang menempel di baju, semua itu membentuk identitas yang sulit dilepas.
Pahit-Manisnya Pilihan
Menjadi guru memang pahit-manis.
Manisnya, ada makna sosial yang luar biasa. Meski kadang kelelahan, semua terbayar ketika murid datang berkata, "Terima kasih, Bu, berkat Ibu saya paham sekarang." Kalimat sederhana itu menjadi energi tak ternilai.