Islam itu selaras dengan segala sumber kebaikan, dari itu Islam berasimilasi dengan segala bentuk perangkat sosial yang ada. Islam tidak menghilangkan nilai - nilai luhur dari sebuah produk kebudayaan. Islam bukan berarti berevolusi, Islam lebih sebagai restorasi atas keadaan yang tidak manusiawi.
Secara tauhid dan dimensi social Islam meneruskan risalah kenabian dari nabi - nabi terdahulu. Untuk itu dalam ushul fiqh dikenal istilah syar 'i manqoblana (syariat nabi terdahulu) seperti haji dan khitan syariatnya nabi Ibrahim as. Â
Inklusifisme Islam telah membawa agama fitrah ini sebagai pilihan keyakinan atas dasar kerelaan. Dipilih karena melewati dialog budaya dibarengi perdebatan nalar juga nurani. Namun tak bisa dipungkiri ada sebagian muslim bersifat skriptualis, jauh dari islam ideal yang dekat pada nilai kemanusiaan dan harmoni dalam bingkai kasih sayang sesama makhluk Allah swt.
Meminjam bahasa Buya Husein Muhammad Adanya tektualis penyebabnya adalah tafsir egeptik, mengambil teks-teks parsial yang sebetulnya adalah respons dari sebuah kasus masa lalu di sana, yg ditarik ke masa kini disini, tanpa dilihat logikanya. Teks-teks yang dimunculkan adalah teks partikular seperti konteks perang. Salah satu ayat al-Quran menyatakan, orang Islam tidak diperkenankan menjadikan seorang kafir sebagai kawan atau pemimpin.
Teks seperti ini adalah teks sejarah yang konstitusi, situasional dan kasuistik (bukan dalam keadaan normal). Maka perlu dilihat konteks sejarahnya alias sababun nujul nya. Sebab jika tidak dilihat konteks sejarahnya, maka akan terjadi pertentangan interteks.
Kebanyakan kalangan kadang memandang fiqh sebagai syar'iat padahal tidak demikian. Fiqh muncul sebagai jawaban atas permasalahan yang timbul saat itu, dan di situ, karena itu fiqh bersifat dinamis. Sementara syari'at bersifat ajeg dan baku.
Fiqh muncul merupakan buah dari penggalian hukum yang konsisten, diramu dari berbagai disiplin ilmu, tafsir, ushul fiqh, juga ulumul hadits. Di samping menyertakan aspek sosio kultur. Ini dicontohkan oleh Imam mazhab seperti imam Sya 'fei dalam metodologinya.
Islam lebih mengutamakan konsepsi menjaga kemashlatan bersama, menghindari kerusakan, mengedepankan diplomasi.
Sebagaimana adagium "dar'u al - mafasid muqaddam ala jalbi al - mashalih" menghindari hal - hal yang merusak lebih diutamakan atas upaya kepada kebaikan.
Dengan demikian semangat berislam bersifat dinamis, tidak kaku dan rigid, tidak memandang segala sesuatu hitam putih, halal, haram tanpa melihat kontekstualnya.
Karena bagi pengkaji hukum islam, hukum itu berjalan sesuai illat nya. Dari itu yang tadinya haram karena ada sebab, bisa saja jadi mubah.