Mohon tunggu...
Sofyan Basri
Sofyan Basri Mohon Tunggu... Jurnalis - Anak Manusia

Menilai dengan normatif

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fakta dalam Politik

23 Januari 2018   17:17 Diperbarui: 23 Januari 2018   17:35 2525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Rubrica News

Sebagai contoh, pada Pilkada Takalar lalu, pasangan incumbent Burhanuddin Baharuddin-Ibrahim Natsir (Bur-Nojeng) yang diusung oleh sejumlah partai politik besar diantaranya Golkar, Demokrat, PDIP, Hanura, PAN, PPP, PBB, PKPI, dan Gerindra tidak mampu mempertahankan takhtanya.

Fakta yang tersaji sebelum pemilihan adalah tingkat keterpilihan pasangan Bur-Nojeng berada diatas angka 60 persen. Akan tetapi, fakta itu dilululahtahkan oleh fakta yang lain yang kini menjadi fakta yang sebenarnya bahwa pasangan Syamsari Kitta-Ahmad Daeng Se're (SK-HD) yang keluar sebagai pemenang.

Sudut Pandang Pendukung

Namanya juga pesta, yah tentu akan ada banyak orang yang akan terlibat. Makanya tidak heran jika jelang Pilkada akan banyak euforia. Mulai dari pawai pendukung, tim pemenangan, ketegangan antar tim pemenangan, hingga bermunculannya berbagai akun media sosial yang eksis tiba-tiba akrab dan antusias.

Khusus untuk akun media sosial itu, sebelumnya sudah saya singgung dalam tulisan essay tahun lalu. Bahkan, beberapa kali saya pernah tulis dalam bentuk berita. Saya kira euforia semacam ini adalah sebuah bentuk kewajaran yang mesti diwajarkan jelang Pilkada.

Tim pemenangan, partai pendukung, hingga simpatisan antar kandidat tentu akan saling mengklaim kandidat inilah dan kandidat itulah yang paling jago, hebat, dan paling bisa diandalkan oleh rakyat yang akan memilih untuk memberikan kesejahteraan, pemberantasan kemiskinan, dan sejuta program lainnya.

Bahkan, tak jarang dalam media sosial tim atau simpatisan antar kandidat saling mencela dan saling mengumbar janji. Hal itu tentu sebagai bagian dari bentuk fanatisme. Dan saya kira semua orang berhak untuk mengidolakan hingga menjadikan kandidat sebagai fans yang fanatik sebab itu bisa jadi bentuk dari keloyalitasan.

Secara keseluruhan yang saya jelaskan diatas adalah fakta. Akan tetapi, sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa itu masih sebuah fakta yang masih mendekati fakta. Sebab tak jarang seseorang yang sangat fanatik terhadap kandidat tertentu tapi tidak bisa memberikan hal suaranya di Pilkada. Kan ini sedikit menggelitik kan.

Contoh yang paling mudah saya dapatkan mengenai hal ini adalah para pendukung fanatisme di Pilwalkot Makassar. Tak jarang ada beberapa teman yang saya kenal sendiri sangat fanatik dengan salah satu kandidat akan tetapi disisi yang lain, teman itu tidak bisa memilih di Pilwalkot karena tidak berKTP Makassar. Aneh kan. Saya kira begitu juga dengan daerah lain.

----------------

Pada akhirnya saya ingin mengatakan bahwa data yang diuraikan oleh lembaga survei hingga fanatisme pendukung itu masih dalam tataran fakta yang masih mendekati fakta. Sebab bagi saya, fakta yang sebenarnya fakta dalam politik adalah apa yang sudah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun