Mohon tunggu...
Irham Bashori Hasba
Irham Bashori Hasba Mohon Tunggu... Lainnya - Sekilas Tentang Irham Bashori Hasba

Irham Bashori Hasba adalah pegiat sosial masyarakat, suka ngamati dan menuliskannya

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kenapa Banyak Tikus? (Refleksi Catatan Lapangan Daulat Pangan)

13 Oktober 2020   00:24 Diperbarui: 13 Oktober 2020   00:38 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Makanan merupakan sumber utama tegaknya sebuah bangsa. Maka mutlak sebuah bangsa memiliki kedaulatan pangannya. Tak jarang kondusifitas sebuah bangsa juga sebagaian besar dipengaruhi oleh kondisi pangan nasionalnya. Melalui hal tersebut, Gerakan-gerakan kedaulatan pangan terus selalu digalakkan oleh pemerintah dari tahun ke tahun, sampai-sampai ketahanan dan kedaulatan pangan selalu menjadi paradigma resmi yang tak using digunakan setiap rezim yang berkuasa. Maka tak heran kebijakan terkait pangan pemerintah tertuang setidaknya dalam pola program peningkatan produksi dan produktifitas pangan melalui subsidi keuangan, input produk, dan alat-alat pertanian, bantuan pangan langsung kepada masyarakat kurang mampu atau yang paling banyak intervensi perdagangan pangan melalui kebijakan stabilisasi harga pangan.

Isu kedaulatan pangan mulai digulirkan pada era 1950an oleh Norman Borlaug sehingga berpuncak pada diraihnya nobel perdamaian olehnya pada 1970. Bermula dari gagasan revolusi hijau Ford and Rockefeller Foundation, peningkatan produktivitas tanaman pangan digalakkan dibeberapa negara, termasuk di Indonesia melalui program Bimas yang dicanangkan oleh rezim orde baru dengan tiga pilar pokoknya yaitu Panca Usaha Tani berupa penggunaan teknologi pertanian dan didalamnya terdapat massifitas penggunaan pupuk, penerapan kebijakan harga sarana pertanian, hasil reproduksi pertanian, dan adanya dukungan kredit dan infrastruktur pertanian. Melalui gerakan ini, Indonesia mampu menciptakan swasembada beras ketika itu. (https://id.wikipedia.org/wiki/Revolusi_Hijau) Namun sebuah kebijakan, bagaimanapun baiknya pastilah memiliki dampak positif dan negative pada jangka pendek dan jangka Panjang.

Swasembada beras telah kita lalui, maka saatnya secara luas kita saat ini berswasembada hama dan dampak lainnya. Yang paling kita rasakan saat ini adalah ketergantungan petani pada pupuk kimia, hilangnya tingkat kesuburan tanah karena rusaknya unsur hara alami tanah, serta problem-problem lainnya seputar pertanian. Pernahkah kita berusaha memahami secara detail problem-problem masyarakat secara langsung kekinian terkait persoalan pangan dari hulu sampai hilir? Problem petani mulai dari susahnya mencari pupuk, hama yang terus meng-upgrade dirinya sehingga petani susah mengatasinya, dan yang tak kalah penting pernahkah mereka berfikir bahwa bertani merupakan profesi mulia yang diperebutkan sebab mereka mengatur kebutuhan pangan (bertani untuk makan lalu sebagian dijual), dan pada akhirnya mampukah petani mengatur harga komoditas pertanian mereka? Aneh dan disayangkan, petani beras berebut beras subsidi pemerintah untuk masyarakat miskin (Raskin). Tulisan ini tidak dalam rangka menjawab semua pertanyaan diatas dalam satu tulisan ini. Hal pertama yang ingin penulis refleksikan adalah ketergantungan petani atas pupuk kimia dan kebingungan mereka mengatasi hama yang terus bermunculan, salah satunya adalah tikus.

Suatu ketika, tepatnya beberapa bulan sebelum pandemi datang, saya diberi kesempatan untuk duduk nongkrong bersama petani di kampung disela-sela mereka bekerja disawah. Banyak hal kita bicarakan seputar dunia pertanian, salah satunya membahas persoalan hama yang semakin susah dibendung dan semakin kebal, bahkan menggunakan pestisida paling kuat sekalipun, salah satunya adalah hama tikus. Gerombolan tikus dalam semalam mampu menghabiskan seperempat hektar lahan padi. Padahal sebelumnya (terutama ketika saya masih kecil) jarang bahkan tak ada hama tikus yang begitu ganas dan mampu membuat gagal panen para petani. Sudah bermacam kiat dilakukan mereka, mulai dari perburuan massal, meracuni, meletakkan aliran listrik dipematang, sampai pada meletakkan burung hantu di beberapa petak sawah untuk memakan tikus. Semua dilakukan namun tak menghasilkan apapun. Dari penjelasan-penjelasan itu, saya tertarik dengan penggunaan burung hantu sebagai predator buatan bagi tikus, dan saya ingat pelajaran dulu waktu Sekolah Dasar yakni rantai makanan dalam ekosistem.

Tiba-tiba saya menimpali perbincangan kami dengan kalimat "kenapa sekarang susah sekali ditemukan ular sawah, ular air ya pak, padahal ketika saya kecil dulu, saya dan teman-teman begitu sering melihat ular-ular itu disawah" serentak mereka berkata "iya sekarang ular sudah jarang ditemui, kurang tau kemana larinya". Perbincangan pertama saya dengan petani selesai dan menyisakan pertanyaan besar dibenak saya "kenapa ular sudah jarang dan bahkan tidak ditemukan di area persawahan??"

Pertanyaan tersebut semakin membuat saya penasaran sehingga mengharuskan saya mempelajari kembali pelajaran tentang rantai makanan dalam ekosistem alami. Saya pun menemukan hipotesis sementara hal itu yakni "Apakah karena dampak penggunaan pestisida??" Pada kesempatan berikutnya rasa penasaran saya terwujudkan ketika berkunjung kembali dengan sebuah ide "Lomba mencari dan menangkap ular di sawah". Petani kenalan saya heran dengan ide tersebut dan bahkan terlihat aneh bagi mereka, namun karena ada hadiah berupa uang Rp. 50.000 bagi 1 ekor ular, mereka sepakat melaksanakannya, tentu arena yang dijadikan lokasi kami batasi setengah hektar. Setelah terkumpul anak-anak dan beberapa bapak-bapak, kami melakukan pencarian. Hasilnya tak satupun kami menemukannya. Karena tidak menemukan ular, perlombaan kami alihkan berupa "menangkap tikus sawah dengan harga per ekor Rp. 1000,-. Berbeda dengan pencarian ular, sekitar hamper 70 ekor tikus tertangkap.

Setelah setengah hari melakukan hal itu, kegiatan kami hentikan dan para petani kawan saya bertanya "Mas, apa maksud lomba ini??" saya tidak lantas menjawab namun mengajak mereka Bersama-sama mencari jawabannya. Saya minta tolong pada satu orang untuk ke toko hewan di kota agar membeli ular (tentu ular yang tidak berbisa). Setelah lama menunggu, setelah asar, kami Kembali berkumpul. Saya bertanya kepada mereka "Apa bapak pakai obat pengering rumput setelah panen??" mereka menjawab serentak "iya" sembari salah satu dari mereka mengambilnya. Kami melalukan ujicoba sederhana. Kami memasukkan ular dalam satu ember dan tikus pada ember lainnya. Kemudian kami siramkan pestisida pengering rumput pada kedua hewan tersebut. Setelah beberapa lama, kami perhatikan kedua hewan itu, dan ular paling awal mati lalu setelah beberapa lama tikus.

Saya kemudian menjelaskan dengan hipotesa sementara. Salah satu penyebab sulitnya menemukan ular disawah karena ular lari atau mati karena pestisida yang digunakan petani. Sisik mereka memudahkan pestisida masuk ke pori-pori kulitnya sehingga mereka kepanasan. Sementara tikus bertahan lebih lama dan bahkan cenderung tahan jika mereka terkena air (setahu saya tikus sawah sering melalui air dipematang, sementara ular langsung masuk ke sarangnya). Dari uji coba diatas, kami memahami bahwa munculnya hama karena disebabkan oleh perilaku petani kami sendiri sebab mereka kurang memahami ekosistem alami, disamping sangat tergantung dengan pestisida untuk mempercepat masa panen tanpa memikirkan dampak lainnya. Kamipun berfikir, sangat mungkin hama wereng (walang sangit dalam Bahasa Jawa juga karena banyaknya pemburu burung sehingga ekosistem terganggu).

Perlahan saya Bersama petani Kembali membuka pelajaran-pelajaran terkait ilmu pengetahuan alam yang dapat dipraktekkan langsung, sembari berangan-angan seandainya di sekolah dasar, anak-anak kami diajari hal itu tidak hanya dalam teori tapi juga praktik di lapangan, maka akan sangat berguna bagi mereka dimasa depan.

Kamipun terus memperbaiki diri dengan mencoba memahami alam Kembali, memahami lingkungan, memahami tanaman berikut hikmah yang dapat kami aplikasikan dalam kehidupan Bertani kami. Barang tentu, sembari belajar, kami berusaha memulai mencari solusi yang solutif terkait hama tikus ini seperti kami telah mencoba menangkap dan memelihara Kembali kucing liar dan kami beri dia makan tikus terus menerus selama beberapa bulan dengan harapan agar insting berburu kucing atas tikus muncul Kembali sehingga sekian ekor kucing itu pada waktunya akan kami lepas ke sawah untuk berburu tikus. Semoga ini berhasil.

Dari penggalan kisah diatas, hal utama yang dapat saya pelajari adalah perlu Tindakan nyata untuk mengembalikan ekosistem alami ke alamnya dengan berbagai cara dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang hanya bersifat normative dan simbolik terkait kedaulatan pangan akan berjalan ditempat dan bahkan jauh dari kata berhasil selama tidak ada upaya Bersama untuk memahami kondisi riil dilapangan. Maka turun dan mendekat ke petani, dan bahkan ikut Bertani menjadi pilihan bagi kita semua guna Bersama-sama membangun, mengawal dan melaksanakan Langkah-langkah nyata sehingga kedaulatan pangan benar-benar terlaksana dengan baik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun