Daeng Baso dan Daeng Basse (keduanya nama samaran) memilih menjalani masa tua dalam kesederhanaan, mungkin mendekati serba kekurangan. Namun, bagi mereka tetap berkecukupan.Â
Hati mereka merasa cukup. Materi bukan satu-satunya hal yang menciptakan rasa bahagia. Itu yang sekilas saya lihat dari kisah dua sejoli ini.Â
Awan gelap menaungi saat saya mendatangi rumah pasangan ini. Sebentar lagi hujan turun, cakapku dalam hati. Benar saja, sesaat setelah saya memarkir motor, butiran air turun dari langit, membasahi bumi yang kering dan panas di siang itu.Â
Saya dan seorang kawan menjejal tanah pekarangan rumahnya. Salam terucap dari mulut. Daeng Basse yang sedang memberi makan ayamnya menjawab salam saya dan menyuruh saya masuk ke rumahnya.Â
"Ada Daeng Baso di dalam rumah, Nak"Katanya dengan sedikit tersengal.Â
Saya pun melangkahkan kaki menuju pintu rumahnya, sedang Daeng Basse masih sibuk dengan ayam - ayam peliharaannya.Â
Di dalam rumah, Daeng Baso duduk di sebuah bangku panjang. Bangku yang sering terlihat di warung makan. Pantas saja, ruang tamu mereka ini sekaligus menjadi warung kelontong dan kedai makan-minum.Â
Saya dipersilakan masuk dan duduk di kursi plastik di dekat pintu. Daeng Baso masih sibuk dengan sebatang rokok yang baru disulut api dengan korek gas yang menggantung di hadapannya.Â
Raut wajah Daeng Baso cukup teduh dan memancarkan ketenangan. Taksiran saya, usianya sudah menginjak angka 70-an. Benar saja, usianya memang sudah di kisaran angka itu. Saya memastikan melalui selembar Kartu Keluarga (KK) Â berwarna biru miliknya.Â
Sementara kami bercakap, Daeng Basse datang menghampiri, Jalan terbungkuk dan perlahan, kemudian memilih duduk di kursi plastik berwarna merah di samping kanan saya. Berbeda dengan Daeng Baso, istrinya ini lebih komunikatif.Â
Dari KK, usia Daeng Basse 12 tahun lebih tua dibanding suaminya. Ternyata, Daeng Baso ini adalah suami yang dinikahinya setelah sempat menjanda.Â