Mohon tunggu...
Bagir Digama
Bagir Digama Mohon Tunggu... Jurnalis - Kata kata adalah senjata Para Bigrol Bigrol dan menjadi senjata Politisi disaat perang angin
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Aquarius

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Historiografi, "Sejarah" yang Sempat Hilang dan Dilarang

28 Januari 2021   19:06 Diperbarui: 28 Januari 2021   19:08 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

_ddf_  putaran sejarah bergulir begitu cepat 30 tahun sudah kulalui , aku teringat sekali pas waktu pantokhir seleksi  tentara di Magelang  dan yogyakarta , petanyaanya ; apakah saya membaca Bumi Manusia, rumah Kaca , dan  karya karya ananta Tour lainnya . Buku Buku itu menjadi Buku Merah dan jadi saksi Sejarah kebengisan sebuah rezim , ak sendiri akhirnya tidak lolos dalam seleksi penerimaan Tentara . 

setelah llulus dari mahasiswa filsafat di sebuah perguruan swasta , kupikir pikir aku bisa mendaftar menajadi Tentara , ABRI saat tiu atau menjadi polisi , mungkin enam kali aku ikut seleksi , sampi Pantokhir semua , kalau sudah sampi Pantokhir katanya  bisa langsung ke mana , begitu. Buku Buku literatur bacaan bagus itu semua dibumi hanguskan , entah sekarang; literatur yang dulunya memakai istilah post modernisme sdh lama berganti menjadi post kapitalisme  - solusi alternativ dari kapitalisme  dan nasionalisme sebenarnya anak kandung kapitalisme.

Hari depan mengarah ketatanan Demokrasi seutuhnya baik dibidang politik dan ekonomi (kritik   Marx terhadap  revolusi borjuis Perancis), yg diperjuangkan gerakan pembebasan Rakyat sedunia  sejarah memang harus cerewet menentukan semuanya.Pada tahun 20an di Hindia Belanda realitas masyarakat sudah mulai berubah. 

Pengalaman sudah memulai proses pembentukan sebuah nasion. Kehidupan ekonomi Hindia Belanda sudah memulai membentuk kehidupan ekonomi bersama, biarpun dual ekonominya memisahkan kaum Belanda daripada semua lainnya. Yang semua lainya semakin mengalami bersama-sama realitas yang baru.  

Dalam pengalaman bersama itu semuanya terjadi di dalam territori yang semakin jelas dan pasti batasannya. Dan yang memiliki pengalaman yang semakin bersama-sama dialami itu butuh membicarakannya bersama sehingga harus ada juga bahasa bersama, sehingga muncul bahasa Indonesia dan komitmen pada masa depannya. Di otak semakin banyak orang ada gambaran daripada sebuah nasion yang sedang terbentuk dan gambaran itu ada karena barangnya sudah mulai lahir dan berkembang dalam realitas. Nasion ini bukan hal yang sekedar imajiner tetapi karena riil adanya, biarpan sebagai sebuah awal. 

Gambaran yang ada di semakin banyak otak yang belum riil adanya adalah gambaran kemerdekaan realitas nasion yang sedang berkembang. Itulah yang membutuhkan visi ke depan. Dan itulah kunci pada tenaga luar biasa dari setiap perjuangan manusia pada awal proses perjuangannya. VISI MASA DEPAN. The future. 

Sebuah nasion bukanlah hasil proses imajiner tetapi hasil proses perjalanan riil materiil. Yang butuh "imajinasi' (kemampuan menyimpulkan pengalaman untuk melihat jalan ke depan) tetapi juga bukan imajiner tetapi tetap seriil-riilnya, senyata-nyatanya, adalah membangun organisasi dan gerakan untuk merebut kemerdekaan.  

Sumpah Pemuda adalah salah satu signal utama bahwa proses itu sudah sampai tahap baru. Pada tahun 1965 semakin terbukti adanya nasion Indonesia. Penindasan dan pembunuhan terjadi dari ujung ke ujung negeri dan tak kenal etnis. Pulau Buru, Plantungan dan penjara menjadi pulau2 keeksilan yang tak kenal etnis. Bahkan melahirkan karya sastra dan seni INDONESIA yang paling dahsyat. Baik di dalam kaum yang ditindas, maupun yang menindas, nama-nama segala etnis ada (kecuali di kaum yang penindas tak muncul nama Tionghoa, karena nama-nama terpaksa dirubah.)

Nasion tetap ada. Tetapi diskusi dan polemik bersama-sama tak ada. Bahkan bahasa bersama semakin tidak dinamis. Sastra yang  dinamis justru lahir berkembang di dalam keeksilan atau dari pinggiran sebagai perlawanan.  Bayangkan buku " Bumu Manusia"  Pramoedya Ananta Toer ditulis di pulau jauh di sana terpisah dari Indonesia   diterbitkan di Indonesia untuk orang indonesia nggak boleh dibaca gernerasi kita  ada apa  hal itu dilakukan Polisi dan tentara kita  - tetapi justru  Oleh orang orang dekat  ditengah-tengah Indonesia -me nasionkan  Negara  yang terefleksilkan.( Sh dinata _ bratamedia)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun