Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Bumi Manusia" dan Upayanya Merumuskan Konsep Pribadi Unggul

11 Juli 2018   00:58 Diperbarui: 12 Juli 2018   00:40 2910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apalagi diketahui kemudian, Annelies yang kelakuannya kebocah-bocahan di hadapan mamanya itu bisa mengatur pekerjaan pertanian yang begitu banyak, menunggang kuda, dan memerah susu sapi. Ditambah lagi ia mendaku dirinya sebagai seorang Pribumi meskipun ia adalah Noni Belanda Peranakan. 

Perempuan yang usianya empat tahun lebih muda dari kakaknya Robert Mellema itu kian memesona Minke setelah ia mengeluarkan kalimat penunjuk pribadi unggul: 

Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, sekali pun dia hanya seekor kuda (50)  

Barangkali keistimewaan itu juga yang memberanikan Minke mencium Annelies di pertemuannya yang pertama tersebut. Dan Annelies tampak tidak keberatan dengan laku lancang itu lantaran ia sendiri juga diam-diam mencintai Minke. 

Namun yang membuat Minke terkagum-kagum bukan cuma penampilan Annelies yang gemilang, melainkan kehadiran sosok mamanya, Nyai Ontosoroh. 

Wanita bernama asli Sanikem itu dandanannya rapi, wajahnya jernih, senyumnya keibuan, riasnya sederhana, kelihatan manis dan muda, berkulit langsat, dan bahasa Belandanya baik. 

Padahal ia cuma seorang gundik, seorang nyai dari hartawan Belanda yang tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan mewah. 

Tetapi bagaimana mungkin ia menuturkan bahasa Belanda yang fasih, baik, dan beradab, sikapnya pada anaknya halus dan bijaksana, serta terbuka? Kategori yang sangat jauh dari wanita Pribumi kebanyakan pada zaman itu.  

Pantas kiranya jika Minke merasa dirinya berada dalam genggamannya. Seorang gundik yang biasanya bertingkat susila rendah, jorok, tanpa kebudayaan, dan perhatiannya hanya pada berahi semata ternyata tampak terpelajar, cerdas, dan dapat melayani beberapa orang sekaligus dengan sikap yang berbeda-beda, 

Anggapan negatif itu juga yang kemudian mendapat teguran dari tetangga Minke yang juga kompanyonnya dalam berusaha, Jean Marais: 

Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan ... Tak pernah aku mengadili tanpa tahu duduk perkara (77) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun