Abdus Salam*)
Penulis adalah Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Kebijakan Publik (PUSKAP) STISIP Muhammadiyah Madiun
Slogan Jokowi adalah kita menjadi terma menarik yang diusung bagi tim Joko Widodo ( Jokowi) saat kampanye pemilihan presiden (Piplres) tahun 2014 lalu. Pemimpin rakyat harus berasal dari rakyat seolah menjadi jawaban akan krisis kepemimpinan selama ini dimana berbagai kebijakan banyak merugikan rakyat. Sehingga tidak heran, rakyat rindu akan sosok seorang pemimpin yang lahir dari rakyat.Jokowi dinilai sosok yang merepresentasikan rakyat, Jokowi diyakini oleh kebanyakan rakyat akan memahami problematika rakyat, kebutuhan rakyat dan kesengsaraan rakyat. Maka tidak heran, pendukung Jokowi itu berasal dari rakyat menengah kebawah. Bahkan relawan Jokowi dari berbagai kalangan tidak bisa dihindari
Tentu, slogan Jokowi adalah kita cukup melahirkan simpati publik, utamanya rakyat kecil. Citra Jokowi yang berasal dari keluarga sederhana, pengusaha mebel dari Kota Solo memberi efek bagi rakyat agar nantinya presiden itu lahir dari Rahim rakyat. Logikanya, jika rakyat yang menjadi pemimpin, maka ia tahu betul apa yang dibutuhkan rakyat, memahami secara utuh apa persoalan rakyat.
Saat ini Jokowi sudah menjadi Presiden, berbagai harapan dan tumpuan dipundakkan kepada Jokowi. Tentu tak semudah membalikan telapak tangan, selaksaharapan rakyat kepada Jokowi sangatlah besar . Alih-alih akan membela dan memperjuangkan rakyat kecil, Justru di awal kepemimpinannya, Jokowi membuat kebijakan dimana BBM jenis premium tak lagi disubsidi oleh pemerintah. Konsekuensinya, harga BMM bisa naik turun mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Kado penderitaan diawal pemerintahan Jokowi dilakukan dengan menaikkan harga BBM. Tepatnya pada 17 Nopember 2014, Jokowi menaikan BBM jenis solar dan premium dari 6500 menjadi 85.00, 7600, 6700,dan terakhir 1 maret 2015 pemerintah menaikkan menjadi 6900. Sementara jenis solar dari 5500 sebelum Jokowi menjadi 7500, 7250 6400.( sindo 2/2/15)
Sungguh paradoks, Jokowi yang diyakini oleh rakyat tidak akan menyengsarakan rakyat justru yang terjadi sebaliknya. Kelangkaan beras dan harga beras mencapai 30% menjadi fakta politik kebijakan Jokowi yang semakin membuat rakyat menderita. Tampaknya inilah pertama kali yang terjadi sepanjang sejarah dinegeri ini. Melambungnya harga beras menjadi bukti nyata bahwa Jokowi telah menggores dan melukai hati rakyat dimana selama ini rakyat setia mendukungnya.
Utopia Nawa Cita
Tampaknya hanya menjadi pepesan kosong dan jauh panggang dari api, Sembilan poin menjadi kerangka besar yang termuat dalam nawa cita, salah satunya adalah kedaulatan pangan. Hal ini mengingat Indonesia sebagai Negara agraris tetapi disisi lain justru mengalami hal serius dalam soal pangan. Tidak heran jika pemerintahan Jokowi ingin segera mengakhiri krisis pangan yang seringkali melanda Indonesia. Absennya Negara dalam persoalan pangan terbukti manakala harga beras meroket tidak bisa dikendalikan. Pertanyaannya kemanakah Negara, kemanakah Jokowi? Padahal dalam nawa citapoin tujuh berbunyi akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik. Membangun kedaulatan pangan, ,mendirikan Bank Petani atau nelayan UMKM termasuk gudang dan pengolahan paska panen disetiap sentra produksi tani atau nelayan. Ahistoris Nawa Cita yang ditawarkan dan menjadi program andalan Jokowi, saat ini terbukti bahwa kedaulatan pangan hanya menjadi mimpi utopis yang sulit dibuktikan dimana dalam waktu bersamaan Jokowi menciderainya sendiri.
Kita tahu bahwa secara normativ sudah diatur mengenai kedaulatan pangan, sebagaimana dalam UU Nomor 18/2012 dan UU Nomor 7/2014 tentang perdagangan bahwa Negara menjadi stabilisator harga pangan. ketidakberdayaan Negara, absennya Negara dalam menstabilisasi harga semakin menguatkan bahwa liberalisasi pasar yang membuat kapitalis ini mencengkram Negara tidak bisa dihindari. Negara memberikan karpet merah terhadap swasta dan para kapitalis untuk semakin leluasa memainkan perannya di Indonesia. Dimanakah Jokowi yang selama ini menilai dirinya sebagai simbol dari rakyat. Sementara dalam butir kedua dalam Nawa Cita itu sangat jelas dan eksplisit membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Dalil klasik yang sering ditudingkan oleh pemerintah adalah bahwa kelangkaan harga beras ini ada pihak-pihak atau mafia yang ikut bermain dan memperkeruh melambungnya harga beras. Statemen ini sangat apoligistik disaat rakyat meminta ketegasan pemerintah untuk mengendalikan harga beras. Alih-alih pemerintah sigab dan mencari solusi agar harga beras bisa normal kembali, justru jurus yang dimainkan pemerintah adalah melemparkan kesalahan kepada pihak lain
Lantas drama apakah yang dipentaskan oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Tidak bisa dielakkan bahwa harga beras menjadi barometer sohih akan keberpihakan Jokowi kepada rakyat ternyata gagal dibuktikan . Melambungnya harga beras yang meroket berarti Jokowi telah melepas tali pendulum politik rakyat dimana selama ini memberikan mandat dan kepercayaan kepada Jokowi.
Beras dan stabilitas politik
Logika rakyat sederhana, harga beras murah. Rakyat tidak begitu risau dengan persoalan politik, demokrasi dan sederet persoalan elit politik yang seringkali dipertontonkan kepada rakyat. Rakyat tak mengubris hal itu, akan tetapi berbeda dengan persoalan beras yang menyangkut langsung kepada rakyart. Jika Jokowi tidak segera mengakhiri persoalan harga beras maka bola panas kemarahan rakyat tidak bisa dikendalikan.
Kiranya Jokowi harus banyak belajar terhadap peristiwa penting negeri ini. Tumbangnya rezim Orde Lama dan Orde Baru tak bisa dilepaskan dengan melambungnya harga beras yang tidak bisa dikendalikan. Beras menjadi ukuran keberpihakan rezim kepada rakyat. Membiarkan harga beras melambung tinggi yang mencekik rakyat, maka instabilitas politik rakyat akan bergolak. Dan pada gilirannya kemarahan rakyat karena harga beras yang tidak terkendali harus dibayar mahal oleh Soeharto dan harus lengser dari kursi kekuasaannya selama 32 tahun. kita tahu bahwa itu bukan faktor tunggal yang memicu lengsernya Soeharto dari singgasananya, akan tetapi krisis berkepanjangan membuat rakyat semakin menderita dan pada gilirannya krisis ketidakpercayaan kepada pemerintah berakhir.
Masih banyak waktu bagi pemerintahan Jokowi untuk membenahi semua keadaan. Merawat mandat politik yang diberikan rakyat itu dengan menjaga dan melakukan stabilisasi harga disemua sektor. Pun, demikian dengan harga beras, jika rakyat kenyang dan kebutuhan dasar seperti beras mudah dijangkau, maka gejolak sosial masyarakat tidak akan terjadi. Beras menjadi ukuran bagi Jokowi sehingga slogan Jokowi dengan Sembilan poin yang tertuang dalam nawa cita itu tidak hanya lips service yang sulit dibuktikan. Semoga[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI