Mohon tunggu...
Muh. Ruslim Akbar
Muh. Ruslim Akbar Mohon Tunggu... Akuntan - Instagram @muhruslimakbar

Menulis untuk mengekalkan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Teori Kebahagiaan Sabana dan Evolusi Pemikiran Manusia

9 September 2021   21:50 Diperbarui: 12 September 2021   01:35 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: collegemagazine.com

Oleh: Muh. Ruslim Akbar

Tak dapat dipungkiri, manusia yang tinggal di perkotaan tentu lebih mudah dalam mengakses segala kebutuhan hidupnya. Mulai dari akses pendidikan, kesehatan, bahkan tempat hiburan atau rekreasi sebagai kebutuhan tersier lainnya.

Dengan berbagai kemudahan tersebut, tentu manusia akan merasa lebih bahagia dan beranggapan bahwa mereka akan lebih mudah terhindar dari stress maupun tekanan hidup jika mereka berada di perkotaan.

Apalagi, setiap manusia yang lahir tidak hanya membawa serangkaian genetik dari generasi sebelumnya. Namun juga serangkaian memori dari nenek moyang mereka. Termasuk tentang cara nenek moyang berinteraksi dengan manusia lainnya untuk tujuan reproduksi serta kelangsungan hidup mereka.

Kemudahan dalam memperoleh pekerjaan juga turut andil dalam meningkatnya arus urbanisasi. Tak ayal, di beberapa kota besar terkhusus di Indonesia mengalami lonjakan penduduk yang signifikan setiap tahunnya.

Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan di kota-kota besar yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi tidak menjamin bahwa manusia dapat mencapai perasaan bahagia yang mereka idam-idamkan sebelumnya. Sebab selain interaksi sosial, banyak variabel-variabel yang dapat mempengaruhi tingkat kebahagiaan manusia, misalnya dari tipe kepribadian ataupun tingkat kecerdasan seseorang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh psikolog evolusi, Norman Li dari Singapore Management University dan Satoshi Kanazawa dari The London School of Economics yang dipublikasikan oleh British Journal of Psychology, menunjukkan bahwa orang cerdas, bahkan lebih senang menyendiri dan menghindari interaksi sosial.

Norman Li dan Kanazawa menggunakan istilah "The Savanna Theory of Happiness" sebagai dasar pemikiran bahwa manusia merupakan masyarakat kuno pemburu yang juga senang berkumpul dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Mereka menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan hasil survei yang dilakukan kepada 15 ribu orang dewasa dengan rentang usia 18-28 tahun.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa manusia merasa tidak bahagia jika berada di area yang lebih banyak orang, namun justru merasa bahagia jika sering melakukan interaksi sosial. Dan Mereka yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi merasa lebih bahagia tinggal di area yang padat penduduk dengan sedikit interaksi sosial yang dilakukan.

Penelitian tersebut juga menunjukkan warga daerah pedesaan maupun kota-kota kecil lebih bahagia ketimbang mereka yang hidup di pinggiran kota. Warga yang tinggal di pinggiran kota, lebih bahagia ketimbang mereka yang hidup pusat kota-kota kecil. Warga di pusat kota-kota kecil lebih bahagia ketimbang mereka yang berada kota-kota besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun