Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Ia Membuat Pialanya Sendiri

14 Januari 2021   18:04 Diperbarui: 14 Januari 2021   18:13 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernah anak bungsu kami membuat piala dari bahan sekitar untuk dihadiahkan kepada dirinya sendiri. Ia masih SD kala itu dan telah mengikuti lomba berkali-kali. Seringkali tak menang. Pernah menang, tapi tak ada piala.

"Ini piala buat adek". Ucapan yang membuat saya berduka. Saya menangis dalam hati. Apakah kami telah salah selama ini sehingga berkembang di alam pikiran kanak-kanaknya bahwa mendapatkan piala itu penting? Mungkin pernah dilihatnya kami begitu gembira ketika abangnya memenangkan suatu lomba dan membawa pulang piala. Atau ia melihat betapa gagahnya piala yang terpajang di kamar tidur abangnya?

Rupa-rupanya saya salah mengerti. Terbukti, saya belum cukup baik memahami puteri bungsu kami ini. Tak ada alasan saya untuk berduka atau bersedih hati. Piala buatannya itu, bukanlah karena ia menganggapnya begitu penting. Itu adalah cara dia memotivasi diri. Ia tengah memberikan semangat kepada diri sendiri untuk berjuang lebih baik lagi di masa-masa mendatang.

Memotivasi diri. Itulah yang secara konsisten ia perlihatkan sejak kecil hingga sekarang. Beberapa tulisan yang menyemangati, seperti "man jadda wa jada", "ayo belajar biar masuk ... (perguruan tinggi negeri ternama)", tertempel di tembok depan meja belajarnya. Bagi sebagian orang, tulisan-tulisan semacam itu boleh jadi tak ada guna. Tetapi bagi bungsu kami, besar pengaruhnya. Dengan susah payah ia akhirnya berhasil kuliah di kampus ternama itu dan lulus dalam waktu yang relatif cepat, walau dengan indeks prestasi biasa-biasa saja.

Cukup panjang perjalanan yang sudah ia lalui. Ia telah gagal berkali-kali, lalu bangkit berkali-kali pula, walau tak jarang dengan air mata. Sesudah ini, masih akan ada perjalanan lanjutan yang boleh jadi semakin tak mudah. Saya percaya, kemampuannya memotivasi diri akan terus membantunya bertahan dan berkembang.

Kita sama-sama tahu, inilah pendidikan. Ia jauh lebih besar dari sekadar menghimpun pengetahuan. Pendidikan, entah berlangsung di luar atau di dalam sekolah, haruslah membuat seseorang tangguh di dalam mengarungi kehidupan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun