Mohon tunggu...
Henrico Fajar
Henrico Fajar Mohon Tunggu... Lainnya - Bergiat di SPEK-HAM

Terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tentang Kebiasaan

9 April 2021   14:53 Diperbarui: 9 April 2021   15:07 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak cara mengedukasi masyarakat agar tidak menjadi pelaku kekerasan. Kita bisa melakukannya lewat media massa baik cetak maupun elektronik, media on line dan media sosial. Ada satu akun Instagram yang bernama "lakilakibaru". Akun ini merupakan gerakan laki-laki untuk membangun kesetaran gender. Ada 6.898 pengikut dan 370 postingan. Postingannya banyak berisi tentang ajakan untuk berbagi peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah bersama istri dan anggota keluarga lainnya. Informasi tentang situasi kekerasan terhadap perempuan di Indonesia hingga ajakan untuk mendukung segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tersaji dengan desain gambar yang menarik.    

Melihat postingan akun tersebut, saya jadi teringat seorang teman laki-laki yang pernah bercerita kepada saya. Setiap hari dia melakukan dan menyelesaikan pekerjaan rumah atau pekerjaan domestik. Mulai dari menyapu, mengepel, memasak, mencuci, menyetrika, mengurus anak dan sebagainya. Pekerjaan itu dia lakukan sebagai bentuk tanggung jawabnya dan dilakukan dengan ikhlas tanpa ada paksaan dari siapapun. Dia dan istrinya sama-sama bekerja maka berbagi peran menyelesaikan pekerjaan rumah sangat diperlukan.   

Melakukan pekerjaan domestik adalah tentang kebiasaan, merupakan praktik pembiasaan dan pola asuh serta pola didik yang diberikan orang tua kepada kita semenjak kita masih anak-anak.  Pada saat usia 11 tahun orang tua menyuruh saya untuk mencuci baju sendiri, bersih-bersih rumah, menyuruh belanja ke pasar hingga belajar memasak bersama ibu. Sebagai seorang anak tentu saja ada perasan tidak suka, bahkan timbul penolakan karena merasa diperlakukan berbeda dengan anak-anak lainnya yang bebas bermain tanpa pernah disuruh-suruh orang tua. Seiring berjalannya waktu, akhirnya saya pun bisa menerima dan melakukannya dengan kesadaran.

Menurut Berger dan Luckman, terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain: Pertama, Realitas Sosial Objektif merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti tindakan dan tingkah laku yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sering dihadapi oleh individu sebagai fakta.

Kedua, Realitas Sosial Simbolik merupakan ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, yang umumnya diketahui oleh khalayak dalam bentuk karya seni, fiksi serta berita-berita di media. Ketiga, Realitas Sosial Subjektif Realitas sosial pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas sosial simbolik, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Setiap peristiwa merupakan Realitas Sosial Objektif, merupakan fakta yang benar-benar terjadi. Realitas sosial objektif ini diterima dan diinterpretasikan sebagai Realitas Sosial Subjektif dalam diri masyarakat atau individu yang menyaksikan peristiwa tersebut. Masyarakat atau individu merekontruksikannya sehingga menjadi sesuatu yang dianggap wajar terjadi di suatu tempat sehingga menjadi norma yang diterapkan dan diyakini sebagai sebuah kebenaran.

Konstruksi sosial atas realitas sosial yang berlaku di masyarakat kita masih menganggap pekerjaan rumah adalah urusan perempuan. Saat seorang laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah, biasanya dianggap tidak elok dan dianggap sebagai ketidaknormalan. Kondisi inilah yang menjadikan relasi antara laki-laki dan perempuan menjadi tidak setara. Ketidakadilan gender masih kerap terjadi yang bisa berujung pada kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan. Apalagi di awal masa pandemi Covid-19, terjadi perubahan relasi pasangan suami istri dan anggota keluarga lainnya. Sebelum pandemi segala kegiatan pendidikan atau pekerjaan dilakukan di luar rumah. Saat pandemi kita harus bekerja dari rumah, bersekolah di rumah. Semuanya dilakukan di rumah. Maka beban perempuan menjadi lebih besar, dia harus mengurus rumah, mendampingi anak belajar, belum lagi bagi mereka yang bekerja harus menyelesaikan segala pekerjaan di rumah. Situasi pandemi mengubah semuanya. Apalagi banyak orang yang mengalami penurunan penghasilan bahkan ada yang kehilangan pekerjaan karena di PHK atau kehilangan mata pencaharian.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan yang meningkat selama pandemi Covid-19. Hal ini terungkap dari survei yang digelar pada April hingga Mei 2020 secara daring oleh Komnas Perempuan. Survei dilakukan terhadap 2.285 responden perempuan dan laki-laki.

Sebanyak 80 persen dari responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah Rp 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang dialami cenderung meningkat selama masa pandemi. Secara umum, hasil survei mencatat kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi KDRT.

Hasil survei daring juga mengidentifikasi bahwa kerentanan pada beban kerja berlipat ganda dan kekerasan terhadap perempuan terutama dihadapi oleh perempuan yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari Rp 5 juta rupiah per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi Covid-19. Ironisnya masih banyak perempuan yang tidak melaporkannya. (Kompas.tv 6 Januari 2021)

Pembagian peran untuk menyelesaikan pekerjaan domestik menjadi salah satu jawaban untuk mencegah terjadinya KDRT. Beban ganda yang dialami oleh perempuan bisa diringankan, selain itu faktor-faktor lainnya seperti kondisi ekonomi, relasi atau komunikasi yang terjalin antar anggota juga menjadi hal yang harus diperhatikan untuk menentukan kualitas keluarga kita.     

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun