Mohon tunggu...
Abdurrahman Aufa
Abdurrahman Aufa Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Mahasiswa sekaligus penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negeri Matahari Terbit yang Hampir Tenggelam

30 September 2019   05:13 Diperbarui: 30 September 2019   05:36 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pasca perang dunia kedua, Jepang telah mengalami kehancuran yang cukup destruktif baik dalam segi infrastruktur, ekonomi, tatanan sosial hingga pemerintahan. Bahkan jauh sebelum itu, pada abad ke-18 Jepang sempat mengalami 'ketertinggalan' dari bangsa-bangsa Eropa. Perang Dunia kedua memang menjadi ajang unjuk gigi sekaligus rontoknya gigi Jepang. Pada awal perang, Jepang mengalami masa kejayaan di bidang teknologi, militer serta ekonomi.

Pada saat itu pula Jepang memiliki setidaknya 10 kapal induk, ribuan pesawat terbang serta ratusan kapal kelas frigat. Selain itu, Jepang juga sudah mampu menciptakan beberapa perangkat elektronik.

Sayangnya, kejayaan Jepang ini tidak diiringi dengan sifat rendah hati dan manusiawi, Jepang justru memiliki ambisi terselubung untuk menguasai dunia terutama Asia.

Jepang justru terkesan konyol dengan mengandalkan 'Harakiri' dan 'Kamikaze' sebagai wujud penghormatan kepada kaisar yang mereka anggap sebagai keturunan dewi Amaterasu, Dewi matahari. Dibawah kepemimpinan Kaisar Hirohito dan Perdana mentri Hidetoki Tojo, Jepang berhasil menguasai Asia Timur hingga Asia Tenggara bahkan sempat menghancurkan Pangkalan Militer Amerika Serikat, Pearl Harbour.

Namun, inilah awal kesalahan Jepang, bersekutu dengan rezim fasis Nazi dan Mussolini bukanlah hal yang menguntungkan terlebih setelah konferensi Yalta yang membuat negara dengan luas wilayah daratan terluas Dunia (Uni Soviet), negara dengan ekonomi terkuat (Amerika Serikat) dan Negara dengan sejarah militer terhebat (Britania Raya) bersatu untuk menjadi musuh.

Inilah awal kehancuran Jepang dimulai dari kembali terebutnya Asia Tenggara hingga Asia Timur. Puncaknya, yakni diledakkannya bom atom pertama (dan semoga yang terakhir kalinya) di 2 kota utama mereka, Hiroshima dan Nagasaki. Hal ini memaksa Hirohito menyerah tanpa syarat pada Sekutu.

Pasca Perang, Jepang benar-benar luluh lantak, perekonomian yang amburadul, cadangan pangan yang menipis serta hancurnya infrastruktur membuat mereka semakin menderita. Tapi, apakah mereka menyerah? Tidak! Dikisahkan bahwa pasca perang, penduduk Jepang berusaha menanam apapun dicelah-celah reruntuhan bangunan demi memenuhi kebutuhan makan mereka. Mereka juga diharuskan menerima persyaratan penyerahan pada sekutu yakni 'tidak menganggap kaisar sebagai keturunan dewa lagi. Padahal, itu sudah menjadi kepercayaan masyarakat Jepang selama lebih dari 2.000 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, lambat laun mereka berhasil bangkit. Angka kelahiran meningkat, jumlah investasi meningkat serta perkembangan teknologi mulai tumbuh secara bertahap. Etos kerja orang Jepang berhasil mengantarkan mereka sebagai salah satu negara yang 'paling cepat bangkit' pasca Perang Dunia ke-2.

Pada akhir abad ke-20, Jepang berhasil mengembalikan masa kejayaannya setidaknya pada bidang teknologi dan ekonomi. Berbagai produk teknologinya berhasil merambah pasar global seperti televisi, sarana transportasi hingga industri. Pada tahun 2018, Jepang berhasil menjadi negara dengan PDB tertinggi ke-3 di dunia setelah AS dan China dengan $. 4.940 Milliyar, jumlah ini 5 kali lebih banyak dari PDB negara kita, Indonesia.

Tiada gading yang tak retak. Yap, tiada sesuatu yang sempurna termasuk sebuah negara. Sehebat apapun negara tersebut pasti memiliki problem baik internal maupun eksternal. Problem yang dihadapi Jepang saat ini adalah penurunan jumlah penduduk. Padahal, penduduk merupakan instrumen paling penting dalam sebuah bangsa. Sebuah bangsa tak bisa disebut sebagai negara tanpa rakyat, begitupun dengan jantung perekonomiannya yang takkan bisa bergerak tanpa keberadaan rakyat. Berdasarkan data pencatatan sipil Jepang per 1 Januari 2017, jumlah populasi Jepang tercatat 123.583.658 jiwa. Jumlah tersebut turun sebesar 308.084 dari tahun sebelumnya dan merupakan penurunan populasi berturut-turut selama delapan tahun terakhir. Data menarik lainnya adalah sebanyak 1,30 juta warga Jepang wafat sepanjang tahun 2016, sementara angka kelahiran warganya lebih rendah. Tahun ini, jumlah kelahiran turun 2,9 persen dari tahun sebelumnya yakni sebesar 981.202 kelahiran. Jumlah ini mencapai titik terendahnya sejak tahun 1974. Data lainnya menunjukkan bahwa orang tua yang berusia 65 tahun ke atas ada sebanyak 27,2 persen dari total populasi Jepang. Ini merupakan rasio tertinggi dalam pencatatan sipil. Sementara persentase pemuda yang berusia 14 kebawah mencetak rekor terendah yaitu 12,7 persen.

Menindaklanjuti realita demikian, Perdana Mentri Jepang, Shinzo Abe mengambil kebijakan lebih longgar dalam hal migrasi. Warga negara asing diperbolehkan bekerja di Jepang, bahkan subsidi juga diperuntukkan bagi ibu yang mau mengandung. Anda berminat menjadi penduduk Jepang?

"Sejatinya di Dunia ini tidak ada yang sempurna, semua ada kelebihan dan kekurangan. Maka, sangat tak bijak sekali bila kita menghina kekurangan seseorang. Alangkah baiknya bila kita saling menutupi kekurangan."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun