[caption id="attachment_308715" align="aligncenter" width="300" caption="Baliho individualistik. Ft Bewe"][/caption] Di internal partai, kursi legeslatif direbut dengan cara akumulasi 'by name'. Konsekuensi logis, persaingan caleg dalam satu parpol tidak terhindarkan. Individualisme sangat mendominasi. Kalu toh ada kebersamaan dalam bentuk tandem untuk menambang suara, kerangka pikirnya tidak lepas dari faksional sekaligus individual. Ego duduk di kursi legeslatif adalah karakteristik pemilu 2014. Masih ada solusi mengubah ego politik ke semangat gotong royong. Putar-putar ke 18 kecamatan di Gunungkidul, saya memergoki baliho yang menurut saya sangat individualistik. Foto caleg banyak bertengger di pinggir jalan, meski itu hanya disangga dengan bilah bambu. Nomor urut caleg ditulis komplit, tetapi yang diberi isyarat gambar paku hanya satu. Ini artinya, calon pemilih digiring untuk mencoblos nomor urut yang diberi tanda tersebut. Salah? Tentu saja tidak. Yang menggelitik pikiran saya, cara kampenye sebagaimana dipertontonkan dalam baliho itu menunjukkan, bahwa di internal partai yang bersangkutan masalah kebersamaan menjadi sebuah teka-teki yang patut dipertanyakan. Tidak hanya pada baliho. Setiker yang beredar di masyarakat pun, menggunakan gaya penampilan yang sama. Dan itu umum dilakukan oleh caleg dari parpol manapun. Ini sebuah resiko dari UU Pemilu No. 8 tahun 2012, yang secara eksplisit menggiring para caleg untuk berperilaku individualistik. Secara sistematis, UU No. 8 Tahun 2012 membuat pola atau alur mulai dari penetapan perolehan kursi hingga penetapan calon terpilih. Penetapan perolehan kursi, di pasal 212 disebutkan, setelah ditetapkan angka BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (2), ditetapkan perolehan jumlah kursi tiap Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan: a. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua. Setelah kursi ditetapkan, siapa yang berhak menduduki ditetapkan di Pasal 215. Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan: a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Rumusan inilah yang melatarbelakangi mengapa banyak baliho dan stiker berkualitas individualistik. Saya berfikir, semangat gotong royong masih nampak ketika penetapan calon terpilih menggunakan sistem no. urut. Tetapi jangan salah sangka, saya juga tak sepaham kalau kembali ke romantisme orde baru. Yang perlu dibenahi adalah terwujudnya kerjasama antar caleg dalam satu partai. Sebutlah 5 orang caleg dari partai A berkumpul membahas siapa yang kemungkinan besar duduk di kursi legeslatif. Tentu saja sangat tidak mungkin kelima orang caleg itu kesemuanya duduk di parlemen. Empat orang caleg yang harus berada di luar gedung, sementara sedikit/banyak mereka menyumbang suara. Pertanyaan sederhana: sudikah caleg yang duduk di kursi memberi nilai rupiah kepada keempat rekan yang berada di luar parlemen, sesuai dengan sumbangan suara yang mereka berikan? Hiitungan gampang, Si Suto menyumang by name 250. Sementara yang duduk di gedung DPR Si Noyo. Kalau 1 suara dihargai Rp 1000.00 maka setiap bulan Suto memperoleh jatah Rp 250.000,00. Cara demikian lebih mengarah pada semangat kebersamaan, dan ujungnya membesarkan partai adalah perkara yang tidak sulit. Pertanyaan saya sedehana : seajauh inikah pemikiran para caleg yang sekarang hingar bingar bertarung di 9 April 2014?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H