IBARAT perahu, Inonesiaku terus berlayar, sementara nakodanya kehilangan kiblat. Pelabuhan besar yang hendak dituju untuk 262 juta jiwa, sebenarnya cukup jelas. Para pendahulu, menamai pelabuhan itu sebagai : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Â
Untuk bersandar ke dermaga besar, secara tenkis filosofis para pemimpin mutlak harus mengimplementasikan jiwa Ketuhanan  seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 19 Ayat 1, bahwa Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Begitu filosofi Ketuhanan ditegakkan, Nahkoda akan saggup memunculkan rasa keadilan di tengah masyarakat yang selama ini berhimpun dalam perahu bernama Indonesia.
Dan dipastikan, bahwa nahkoda  yang adil sekaligus beradab, sangat mudah dalam mempersatukan masyarat seperahu.
Ketika rakyat bersatu, itu pertanda bahwa mereka merasa terlindungi, karena dipimpin oleh nahkoda yang mahir bermusyawarah, jauh dari karakter tangan besi akibat bisikkan segelintir partai politik yang haus kekuasaan.
Endingnya, isi perahu bangsa akan buang sauh menikmati keadilan sosial secara merata di bawah bendera pusaka Merah Putih.
Bangsa Indonesia memiliki filosofi yang sangat berbeda, bahkan tidak ada satu  negara pun yang menyamainya.
Pemimpin bangsa yang ingin membawa negara  menjadi seperti Amerika, Jepang, Korea, Taiwan, apalagi Tiongkok, ini sama saja bahwa pemimpin itu tidak memahami dirinya sendiri.
Terminologinya cukup jelas, bahwa perahu itu harus menjadi negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tahap pencapaian ke arah itu juga telah dituntun mulai dari sila pertama sampai sila keempat.
Para Calon pemimpin boleh saja mengatakan bahwa Indonesia harus maju, atau Indonesia harus menang, tetapi terminal terakhir harus berada di pelabuhan yang bernama Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.