Sejarah maritim di Nusantara, termasuk di pesisir Bandaran-Dringu- Probolinggo, adalah tulang punggung peradaban. Dusun Bandaran, dengan tradisi nelayannya, adalah salah satu simpul penting dari sejarah tersebut. Kemenangan di Karnaval Kemerdekaan RI ke-80 tidak hanya sebuah prestasi, melainkan sebuah manifestasi budaya yang hidup. Kemenangan ini memiliki makna historis yang dalam: revitalisasi identitas nelayan yang tidak luntur oleh modernisasi dalam rangka menyukseskan program ketahanan pangan sektor perikanan.
Pengenalan teknologi baru dan alat tangkap yang lebih efisien, seperti jongrang---alat tangkap tarik yang menyapu dasar laut---sering kali dilihat sebagai jalan pintas untuk meningkatkan hasil tangkapan. Namun, di Dusun Bandaran, sebuah fenomena historis yang menarik terjadi: mereka secara konsisten menolak penggunaan alat-alat tersebut.
Keputusan ini bukanlah sekadar pilihan teknis, tetapi sebuah manifestasi dari kearifan lokal yang telah mengakar kuat. Seperti yang pernah saya catat dari leluhur kami: "Mbah buyut kami tahu cara mengambil ikan tanpa membuat laut sakit. Nelayan Bandaran harus bisa berbicara dengan laut. Itu yang selalu dituturkan kepada kami, untuk selalu diwariskan/ diajarkan ke anak-anak kami." Pernyataan ini menunjukkan betapa dalamnya akar kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat setempat. Sejak awal berdirinya komunitas nelayan di sini  (bahkan sebelum  kemerdekaan) hingga era digital yang penuh dengan tawaran modern, Nelayan Bandaran tetap berpegang teguh pada metode tradisional mereka. Alasannya historis dan ekologis: alat tangkap seperti jongrang dikenal merusak terumbu karang, menyapu bersih biota laut, dan tidak selektif. Nelayan Bandaran memahami bahwa keberlanjutan sumber daya laut adalah kunci kelangsungan hidup mereka. Mereka tidak hanya memandang laut sebagai ladang rezeki, tetapi sebagai "ibu" yang harus dijaga. Penggunaan alat tangkap tradisional adalah sebuah pakta tak tertulis antara manusia dan alam, memastikan bahwa generasi mendatang akan tetap bisa menikmati kekayaan laut yang sama.
Keberlanjutan Identitas dan Kebanggaan
Profesi nelayan di Dusun Bandaran tidak hanya sebatas mata pencaharian; itu adalah identitas. Menggunakan alat tangkap tradisional adalah cara mereka menjaga kebanggaan dan koneksi spiritual dengan leluhur mereka. Ini adalah bukti bahwa nilai-nilai seperti kesabaran, kerja keras, dan harmoni dengan alam lebih berharga daripada keuntungan sesaat. Mereka menunjukkan kepada dunia bahwa menjadi nelayan sejati adalah tentang menjaga keseimbangan, bukan mengeksploitasi.
Kisah Dusun Bandaran adalah sebuah studi kasus yang luar biasa dalam sejarah konservasi. Di saat banyak tempat lain menyerah pada tekanan ekonomi dan beralih ke metode yang merusak, Nelayan Bandaran memilih jalan yang lebih sulit namun bermakna. Mereka membuktikan bahwa tradisi, ketika dipegang teguh, bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan sebuah kekuatan yang relevan dan esensial untuk masa depan.
Karnaval Kemerdekaan, dalam konteks sejarah, berfungsi sebagai media pendidikan publik yang efektif. Ini adalah panggung di mana sejarah lokal tidak hanya diceritakan, tetapi juga dirayakan. Masyarakat dapat secara langsung melihat dan merasakan narasi perjuangan, keberanian, dan identitas budaya. Kemenangan Dusun Bandaran menjadi catatan penting dalam arsip sejarah lokal Probolinggo. Selain itu, perjuangan mereka menghadapi abrasi pantai menjadi pengingat bahwa masalah lingkungan seperti ini bukan hanya tanggung jawab nelayan saja, melainkan menuntut kepedulian setiap komponen bangsa. Dalam upaya sederhana namun bermakna, masyarakat Bandaran menunjukkan inisiatif dengan memasang ban bekas sebagai penahan gelombang, sebuah strategi adaptif yang mencerminkan kegigihan mereka dalam menjaga "rumah" mereka.
Kolaborasi Historis dalam Pelestarian Laut
Dalam siklus historis komunitas nelayan, kolaborasi dengan otoritas eksternal sering kali menjadi kunci keberlanjutan. Di Dusun Bandaran, hal ini terwujud dalam sebuah diskusi penting yang berlangsung di Pantai Bandaran, bertepatan dengan perayaan adat Petik Laut. Pertemuan ini menghadirkan perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Probolinggo dan Pol Airud Probolinggo, sebuah momen yang mencerminkan komitmen bersama antara masyarakat adat dan institusi negara.