Mudik adalah khasanah budaya yang melekat sebelum berlebaran. Namun saya dapat pengalaman baru tentang mudik berudhik-udhik.
Udhik, dalam bahasa Jawa berarti bagian sungai yang paling dekat dengan sumber air utama. Â Lha kalau mudik, menuju ke udik atau kenangan terdekat dengan sumber air utama kehidupan seseorang.
Kalau udik, mudik, dikaitkan dengan udhik-udhik bagaimana ? Ya kita nikmati saja trend itu. Penampakan udhik-udhik memang lebih meriah, seperti mudik. Di sela acara halal bihalal, perwakilan sesepuh membawa uang diwadahi baskom. Anak-anak berebut mendapatkannya. Ada yang mampu mengumpulkan banyak, ada pula yang gagal total. Suara tawa dan tangis meledak bersamaan.
Dalam kesempatan lain, saya pernah melihat kerabat yang menebar uang dari rumah duka ke tempat pemakaman. Hari itu, ibu saya pergi menghadap Illahi, bertepatan hari raya Idul Fitri. Kerabat penebar uang tersebut memberitahukan, itu sejenis udhik-udhik juga.
Barangkali kategori kearifan lokal, lebih cocok disandangkan terhadap budaya ini. Dalam khasanah budaya Jawa, udhik-udhik dimaksudkan sebagai sarana berbagi kebahagiaan. "Dhuwit kang sinebar kanggo dedana, kanthi pangajab ana gunane kanggo wong sing ora nduwe".
Budaya memang kaya. Banyak lambang-lambang yang mesti pelan dalam mengunyahnya. Misalnya, dengan menunda untuk bertindak reaktif, sebelum paham maksud tujuan sebenarnya.