Ecclesiastes pernah mengatakan bahwa segala sesuatu itu dibuat rumit oleh manusia. Mereka akan memulainya dan berhenti ketika telah mampu memahami diri sendiri.
Hal tersebut  disadari atau tidak disadari, karena proses menuju ke situ sungguh terjal sekali. Keinsyafan dan pemikiran senantiasa bertarung, karena segala sesuatu ingin dibuktikan langsung.
Diskusi tentang keyakinan misalnya, tidak hanya dengan rasio saja atau perasaan saja. Mencari keseimbangan di antaranya tidaklah mudah. Orang merasa mampu mengamatinya, lalu berpendapat berdasarkan subjektivitas tidak berbatas.
Bila nanti menyrempet akidah, kadar kepekaannya bertambah. Daerah gelap, semakin pengap.
Dalam liku-liku pencarian keyakinan tersebut, intervensi perasaan ikut nimbrung. Rasa khawatir, sedih, takut; rakus, cemburu, iri, dan khianat, hadir berganti-ganti. Celakanya, manusia tidak mampu konsisten dan konsekwen dalam menyelesaikan dampak dari pertarungan perasaan tersebut.
Kerumitan akan tetap bernuansa gelap, karena tidak kunjung menemukan kesadaran yang byar. Butuh waktu menunggu suasana terang benderang, yang berproses secara manusiawi sadar. "Kalau bisa diperumit, kenapa mesti dibuat mudah ? ". Biasanya seperti itu.