Belitung sebelum pandemi sesak dengan lepau kopi. Tapi untuk mencari suasana seperti itu, tak begitu mendesak ke sana lagi. Di sini pun merebak sesak, bersosial media masih menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak. Warung berwifi lebih diminati. Suasananya ramai tapi sunyi.
Lepau kopi zaman dahulu juga ramai. Diskusi atau debat terjadi di sini. Malah berlangsung lebih demokratis, walau tanpa moderator yang ayu kinyis-kinyis.
Debat panggung, selalu enak dilihat jika berlangsung. Talk show seperti suasana Pasar Burung. Saur manuk, berhiruk pikuk.
Perbantahan memang sangat dekat dengan bergaduh atau bercekcok. Menjurus ke pertengkaran mulut, berpokrol-pokrolan, berusaha menjadi yang paling benar.
Sejak ada tradisi debat di warung kopi, muncul istilah debat kusir. Entah kenapa, kok profesi kusir dibawa-bawa.Â
Debat di warung kopi, bebas bertata bahasa. Pokoknya paling mudah dimengerti. Tidak seperti debat di televisi. Hanya monopoli para pakar dan penyiar lagi.
Sebenarnya para pakar itu sangat sadar. Bila berbicara di televisi, dilarang saling siram menyiram kata panas. Meledak-ledak penuh emosi. Jargon ditembakkan, klise, dan penuh rasa nomor satu perkecapan. Dan yang paling memprihatinkan adalah banjir pembenaran. Jarang menyentuh kebenaran.
Bahasa, adalah lingua. Ketika terucap, sejatinya sedang terjadi proses konsistensi antara yang dirasakan dengan yang diucapkan. Tetapi kok ya takdir lidah itu tidak bertulang. Kalau begitu, jika lebih banyak pembenaran dibanding kebenaran, kita waspadai saja.
Suasana kebatinan saat ini ibarat "byung-byung tawon kambu". Seperti suara sekumpulan lebah terbang, yang tidak jelas sedang menghadapi masalah apa.