Mohon tunggu...
Bambang Subroto
Bambang Subroto Mohon Tunggu... Lainnya - Menikah, dengan 2 anak, dan 5 cucu

Pensiunan Badan Usaha Milik Negara, alumni Fakultas Sosial & Politik UGM tahun 1977. Hobi antara lain menulis. Pernah menulis antara lain 2 judul buku, yang diterbitkan oleh kelompok Gramedia : Elexmedia Komputindo. Juga senang menulis puisi Haiku/Senryu di Instagram.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pahit Lepau Kopi

13 Maret 2021   09:35 Diperbarui: 13 Maret 2021   09:44 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Belitung sebelum pandemi sesak dengan lepau kopi. Tapi untuk mencari suasana seperti itu, tak begitu mendesak ke sana lagi. Di sini pun merebak sesak, bersosial media masih menjadi kebutuhan yang penting dan mendesak. Warung berwifi lebih diminati. Suasananya ramai tapi sunyi.

Lepau kopi zaman dahulu juga ramai. Diskusi atau debat terjadi di sini. Malah berlangsung lebih demokratis, walau tanpa moderator yang ayu kinyis-kinyis.

Debat panggung, selalu enak dilihat jika berlangsung. Talk show seperti suasana Pasar Burung. Saur manuk, berhiruk pikuk.

Perbantahan memang sangat dekat dengan bergaduh atau bercekcok. Menjurus ke pertengkaran mulut, berpokrol-pokrolan, berusaha menjadi yang paling benar.

Sejak ada tradisi debat di warung kopi, muncul istilah debat kusir. Entah kenapa, kok profesi kusir dibawa-bawa. 

Debat di warung kopi, bebas bertata bahasa. Pokoknya paling mudah dimengerti. Tidak seperti debat di televisi. Hanya monopoli para pakar dan penyiar lagi.

Sebenarnya para pakar itu sangat sadar. Bila berbicara di televisi, dilarang saling siram menyiram kata panas. Meledak-ledak penuh emosi. Jargon ditembakkan, klise, dan penuh rasa nomor satu perkecapan. Dan yang paling memprihatinkan adalah banjir pembenaran. Jarang menyentuh kebenaran.

Bahasa, adalah lingua. Ketika terucap, sejatinya sedang terjadi proses konsistensi antara yang dirasakan dengan yang diucapkan. Tetapi kok ya takdir lidah itu tidak bertulang. Kalau begitu, jika lebih banyak pembenaran dibanding kebenaran, kita waspadai saja.

Suasana kebatinan saat ini ibarat "byung-byung tawon kambu". Seperti suara sekumpulan lebah terbang, yang tidak jelas sedang menghadapi masalah apa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun