Saya mengunjungi Museum Sonobudoyo Yogyakarta pada 14 Agustus yang lalu pada siang hari.
Begitu memasuki gerbang puri Museum, udara yang panas terasa berganti dengan alir kesejukan. Senyum dan keramahtamahan para among tamu membuat suasana berbeda.
Bangunan pendoponya berbentuk limas dengan atap tumpang sari bertingkat dua. Bersebelahan dengan Bale Pangurakan, museum yang terletak di Jl. Trikora 6, Km 0, Yogyakarta di bagian utara Alun-Alun Utara dari Keraton Yogyakarta itu bagaikan gudang keajaiban kuno yang kontemporer juga.
Di halaman pendopo terdapat Arca Dewi Laksmi, arca Mahakala, dan Makara. Sedangkan di bagian dalam pendopo terdapat seperangkat gamelan.
Para among tamu yang ayu-ayu setelah memeriksa tiket menawarkan tenaga pemandu, dan saya mendapat seorang pemandu berparas Arab yang ayu juga.
Tampaknya ia cakap melaksanakan misi Museum yaitu antara lain mewujudkan inklusivitas, keterbukaan pada semua lapisan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, tua atau muda, laki-laki atau perempuan, dengan menciptakan lingkungan yang ramah dan mengusahakan keberlanjutan pelestarian budaya, baik secara lingkungan maupun sosial.
Museum Sonobudoyo Yogyakarta ingin secara partisipatif menjadi pusat pengembangan peradaban yang berakar pada budaya setempat berwawasan global.Â
Tampilan Museum yang ramah bukan serba gelap tetapi inovatif mengadopsi teknologi pencahayaan dan berbagai metode baru pameran benda kuno untuk menjaga relevansi dan menarik minat generasi baru.
Memasuki Ruang Pengenalan, di atas pintu masuk terdapat relief candrasengkala pembangunan tempat itu "Buta Ngrasa Estining Lata", yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun umum 1934.