Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, 3 Juni 2020. Meneruskan tulisan sebelumnya, beberapa teman masih menanyakan bagaimana meghadapi dan menyikapi pandemi ini. Normal baru seperti apa yang harus kita jalankan, bagaimana pemaknaannya. Apakah kita akan kembali ke jaman dulu lagi atau back to nature.Â
Beberapa pembenarannya; banyak kita lihat teman-teman mengunggah hasil fotonya ke media sosial yang memperlihatkan begitu bersihnya udara di masing-masing kota besar terutama di Jakarta. Langitnya signifikan seakan-akan terlihat lebih membiru. Diyakini udara semakin bersih, dan seterusnya.
Pemaknaan normal baru juga untuk dunia perkerjaan, manajemen, industri dan bisnis banyak dipertanyakan. Seperti yang kami paparkan dan didiskusikan pada acara HR Virtual Gathering dari komunitas Forum Komunikasi HRD Indonesia (Minggu pagi, 31 Mei 2020).Â
Dan dengan topik yang sama juga di kesempatan lainnya di acara Halal Bi Halal Virtual alumni STAN - Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (Minggu malam, 31 Mei 2020). Beberapa pertanyaan umumnya terkait bagaimana menjalankan normal baru di masing-masing tempat mereka bekerja.
Sebenarnya di dalam menyikapi setiap perubahan dan suatu peristiwa hanya terdapat dua pilihan; kita akan merespon positif (God in Neurons) atau meresponnya negatif (ingat MNS: Mirror Neurons System). Namun fakta di lapangan tidak semudah itu. Selain kemampuan otak manusia yang tinggi dalam beradaptasi, manusia pada dasarnya semua berasal dari dan menuju kebaikan. Perlu dicatat bahwa otak manusia aslinya netral seperti komputer yang memorinya kosong. Dia tidak bisa membedakan mana yang baik dan buruk.
Peranan orang tua yang mengasuhnya sejak dia lahir ke dunia menjadi sangat penting. Merujuk Bruce H. Lipton, PhD di dalam bukunya berjudul "The Biology of Belief" bahwa tujuh tahun pertama anak akan men-download atau mengunduh semua program dari lingkungan terdekatnya. Karenanya, saat kita orang dewasa sedang berbicara depan si anak tersebut seakan-akan terlihat bengong.Â
Selanjutnya setelah berusia tujuh tahun ke atas informasi yang diperoleh dari semua sensor (sensory inputs system) akan diproses berdasarkan program yang telah terinstal tadi. Oleh karena itu kita sebagai orang tua jangan sampai kehilangan 'Golden Age Moment'Â ini. Ingat, jarum panjang detik jam terus berdetak, waktu terus berjalan, dan kita tak bisa balik ke masa lampau.
Dalam merespon informasi, berita negatif pada listrik otak orang dewasa lebih bereaksi dibanding data atau informasi positif. Sedangkan pada anak-anak, sebaliknya otak mereka lebih merespon informasi positif. Karena di dalam memori otak anak belum ada file keburukan dan programnya. Referensi dan schema folders-nya tidak ada. Karenanya anak kecil lebih mudah terhipnotis dan gampang terbohongi. [Sumber: Van Duijnenvoorde, A. et al. Evaluating the Negative or Valuing the Positive? Neural Mechanisms Supporting Feedback-Based Learning across Development. Journal of Neuroscience September 17, 2008Â 28(38):9495-9503].
Atas dasar ini pula, berulang kali media diingatkan untuk lebih berhati-hati dalam menyebarkan berita. Media harus netral dan seimbang. Namun keseimbangan berita positif dan negatif bukan 50:50. Tapi mungkin hanya dengan 5 informasi berita negatif dapat meruntuhkan 95 yang positif. Hal itu lah yang sebenarnya terjadi dalam pemrosesan otak manusia. Sangat manusiawi, karena bagian dari early warning system yang terus alert atau agar senatiasa siaga terjaga. Merupakan bagian dari upaya proteksi diri atau bagian mempertahankan hidup. Ke depannya mahasiswa fakultas jurusan komunikasi masa, perlu juga dibekali ilmu neurosains.
Kemudian apa kaitannya dengan MNS yang disebut di atas tadi. Dalam penyebaran informasi berita negatif, apalagi secara berulang-ulang, akan berdampak buruk kepada masyarakat luas. Karena selain berpotensi membuat bodoh akibat banjir enzim kortisol di kepala, juga meruntuhkan sistem imun tubuh manusia.Â