Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Buruh - abahnalintang

Memungsikan alat pikir lebih baik daripada menumpulkan cara berpikir

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengingat Fenomena "Cumi" di Era Kekinian

16 November 2020   08:49 Diperbarui: 16 November 2020   09:00 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi: Youtube/ChoDJ Official 

Lengkong, BDK- Sedikit dari banyak orang tidak menutup kemungkinan merasa terenggut kenyamanannya karena terganggu dengan suara panggilan yang masuk pada ponsel pribadinya namun diputus secara sengaja. Bagi para pengguna ponsel baik yang harganya miring maupun setinggi langit pasti pernah mengalami fenomena misscall. 

Gambaran nyata dari bentuk merasa terenggut kenyamanannya bisa dibuktikan ketika seseorang di antara banyak pengguna ponsel mendapatkan misscall baik dari nomor yang dikenal maupun nomor orang yang tidak diharapkan menghubunginya. 

Tidak jarang ada perubahan di raut dan sesekali merasa tidak berat alias merasa gurih melontarkan kata "cumi (Cuma misscall)!". Kurang lebih begitulah ekspresi lisan yang terlontar di antara sedikit dari banyak orang ketika mendapatkan misscall.

Fenomena misscall cukup menarik untuk direnungkan, karena dalam fenomena ini ada pesan tersirat yang jarang disentuh dan tertangkap maknanya karena kebiasaan penyikapan dengan tidak bijak lebih didahulukan. 

Merasa terganggu karena mendapatkan misscall adalah representasi adanya ketidakdalaman berpikir dalam menyikapi kejadian yang terjadi dalam kenyataan, apapun yang terjadi sudah barang tentu kalau direnungkan pasti ada nilai didaktisnya baik untuk pikiran maupun perasaan.

Terlontarnya kata "cumi" ketika mendapatkan misscall gambaran adanya ketidakberterimaan terhadap yang menimpa diri, padahal seumpama sempat direnungkan kemungkinan senyum mungil sarat kesumringahan akan hadir menongolkan diri di raut si penerima kenyataan yang menimpa dirinya. 

Memang, tidak jadi soal merasa terganggu oleh misscall yang nongol tanpa diundang, namun alangkah baiknya jika fenomena misscall ini dijadikan semacam alat untuk refleksi diri atau mengukur diri ketimbang menguras tenaga dengan melontarkan kata yang bernuansakan gambaran suasana emosi. Bukankah emosi itu tidak baik bagi diri dan bisa menyebabkan lupa muka diri?

Tentunya tidak salah kalau saya punya hemat, dalam misscall itu terdapat semacam arti tersirat adanya rasa ingat pada diri orang yang misscall terhadap diri yang dimisscallnya. 

Argumentasi yang dikemukakan tentunya berdasarkan pemikiran, salah satu bentuk pemikirannya adalah tidak akan mungkin orang mengontak nomor dalam ponselnya kalau kondisinya tidak lagi ingat pada yang dikontak, terlepas apapun alasannya. 

Mau main-main karena waktu luang lagi berpihak pada dirinya atau pun hanya sebatas mengecek sejauh mana tanggapan orang yang dikontak. Tak usah mempersoalkan bentuk fenomenanya, karena sebaik-baiknya sikap terhadap fenomena adalah merespon stimulus yang muncul tegasnya lebih baik mengedepankan penyikapan ketimbang harus mempersoalkan persoalan seumpama fenomena misscall dianggap sebagai bentuk persoalan.

Bandung, 08 Oktober 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun