Hutang Selangit Rakyat Terhimpit
Oleh Nurul Sakinah Bayti, S.Hut
Wirausaha & Member Developer Property Syariah
Sebagaimana dikutip Liputan6.com dari data APBN Kita, Jakarta, Kamis (17/5/2018), utang pemerintah Indonesia per April ini yang sebesar Rp 4.180,61 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 773,47 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.407,14 trilyun.
Paradigma Hutang
Pernah mendengar hutang sebagai penyemangat hidup? Paradigma salah ini, rupanya banyak menjangkiti cara berpikir masyarakat. Bahkan sudah menjadi hal wajar dalam dunia perbisnisan. Ketika masyarakat membutuhkan dana instan, alhasil banyak lari mengambil solusi hutang. Ketika anak butuh sekolah, hutang menjadi jalan keluar bagi kebanyakan orang. Butuh modal tambahan, hutang pun menjadi cara "terbaik" bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya. Sehingga mereka mengganggap wajar ketika berhutang.
Lantas bagimana kalau paradigma ini juga menjangkiti negara? Ketika negara membangun ekonomi rakyatnya melalui hutang. Negara membangun sarana infrastruktur juga dari utang. Bahkan paradigma salah yang selalu digaungkan para penjaja ekonomi neoliberal ke negeri ini. Bahwa Indonesia tidak akan mampu membangun negeri, kalau tidak berhutang. Dan serasa ini diaminkan oleh para pejabat negara. Buktinya mereka bukannya mencari cara untuk segera menutup hutang tersebut, tapi malah memperbanyak hutang-hutang baru. Alhasil ya hutang akan diturunkan sampai ke anak cucu bahkan cicit.
Meluruskan Persepsi
Pilihan terhadap suatu perbuatan, ditentukan oleh persepsi/pemahaman seseorang. Ketika persepsinya benar, maka perbuatan yang dilakukan pun benar. Demikan pun sebaliknya, ketika persepsi yang dibangun salah, alhasil akan mengambil tindakan yang salah juga.
Termasuk dalam berhutang. Bagi individu, ketika berhutang dianggap sebagai penyemangat hidup. Dampaknya banyak orang yang mengambil hutang. Untuk menyemangati hidup dengan berhutang. Berhutang bukan karena terdesak kebutuhan. Namun serasa menjadi trend hidup masyarakat.
Berhutang memang boleh. Sebatas untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak. Bukan menjadi trend hidup. Bukan juga hutang yang mengandung riba. Karena hukum riba ini jelas keharamannya.