Pernahkah kamu membayangkan bahwa tulang yang terasa kuat bisa perlahan melemah hanya karena tubuh kekurangan satu vitamin? Ya, itulah yang terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup vitamin D. Vitamin ini memang terdengar sederhana, tetapi fungsinya sangat krusial bagi kesehatan. Tidak hanya berperan dalam menjaga imunitas, vitamin D juga menjadi kunci dalam membantu tubuh menyerap kalsium dan fosfor yang dibutuhkan untuk pembentukan tulang. Tanpa asupan yang memadai, struktur tulang akan terganggu sehingga lebih rapuh dan mudah mengalami kerusakan. Osteomalasia adalah salah satu kondisi yang muncul akibat kekurangan vitamin D, ditandai dengan tulang yang melemah dan mudah terasa nyeri. Risiko ini semakin besar pada orang dewasa yang aktivitas hariannya minim terpapar sinar matahari. Dalam konteks inilah, fortifikasi pangan, khususnya susu, menjadi salah satu langkah penting yang layak dipertimbangkan untuk mencegah masalah serius tersebut.
Vitamin D merupakan mikronutrien larut lemak yang berperan dalam regulasi kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Ia bekerja melalui peningkatan penyerapan kalsium di usus, pengaturan metabolisme tulang, serta pemeliharaan fungsi otot. Kekurangan vitamin D dalam jangka panjang akan menurunkan kepadatan mineral tulang dan berujung pada osteomalasia pada orang dewasa, yang berbeda dengan rakhitis pada anak-anak. Kondisi ini ditandai dengan rasa lemah otot, nyeri tulang, hingga kesulitan bergerak. Penyebab kekurangan vitamin D cukup kompleks, mulai dari kurangnya paparan sinar matahari karena penggunaan tabir surya berlebihan, polusi udara, atau kebiasaan beraktivitas di dalam ruangan. Selain itu, pola makan masyarakat yang rendah vitamin D juga menjadi faktor penyumbang. Jika situasi ini tidak segera diatasi, risiko kerusakan tulang akan meningkat dan dapat berdampak pada kualitas hidup jangka panjang.
Data penelitian menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D memang merupakan masalah serius di Indonesia. Sebuah meta-analisis pada anak dan remaja menunjukkan prevalensi hypovitaminosis D mencapai 33%, yang berarti sekitar sepertiga dari mereka memiliki kadar vitamin D rendah. Studi SEANUTS bahkan mengungkapkan hampir setengah anak masuk kategori "insufficiency" dan setengah lainnya "inadequate", sementara hanya 5,6% yang tergolong cukup. Hal ini menunjukkan betapa luasnya masalah kekurangan vitamin D di kalangan anak. Tidak hanya itu, kelompok ibu hamil juga menghadapi kondisi serupa, di mana 63% tercatat mengalami defisiensi vitamin D. Lansia wanita di panti jompo juga menunjukkan prevalensi kekurangan sebesar 35,1%, akibat paparan sinar matahari yang sangat terbatas. Gambaran ini memperlihatkan bahwa defisiensi vitamin D bukanlah masalah kecil, melainkan ancaman gizi lintas usia yang memerlukan strategi pencegahan segera.
Fortifikasi susu dengan vitamin D menjadi salah satu solusi paling praktis dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut. Susu dipilih karena sudah menjadi bagian dari konsumsi harian banyak orang, sekaligus dikenal kaya akan kalsium. Penambahan vitamin D di dalamnya akan meningkatkan efisiensi penyerapan kalsium, sehingga proses mineralisasi tulang menjadi lebih optimal. Keunggulan lain dari fortifikasi adalah sifatnya yang masif: masyarakat tidak perlu membeli suplemen khusus atau memantau dosis harian secara ketat, cukup dengan menjadikan susu terfortifikasi sebagai bagian dari pola makan. Selain itu, susu mudah didistribusikan, memiliki daya simpan yang baik, dan diterima oleh berbagai kalangan usia. Dengan demikian, fortifikasi susu bisa menjadi jembatan antara kebutuhan nutrisi dan akses masyarakat yang luas.
Pengalaman dari negara lain memperlihatkan bahwa strategi ini memang berhasil. Finlandia, misalnya, berhasil menurunkan angka defisiensi vitamin D secara signifikan setelah mewajibkan fortifikasi pada susu dan margarin. Kanada juga mencatatkan keberhasilan serupa dengan menurunkan prevalensi osteomalasia dan defisiensi vitamin D melalui program fortifikasi skala nasional. Hasil-hasil ini membuktikan bahwa intervensi melalui pangan terfortifikasi lebih efektif menjangkau populasi besar dibandingkan pendekatan berbasis suplemen individu. Meski begitu, di Indonesia program serupa masih menghadapi tantangan, seperti rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya vitamin D, keterbatasan daya beli, serta belum adanya regulasi wajib yang mengatur fortifikasi vitamin D pada produk susu. Jika tantangan ini tidak diatasi, manfaat fortifikasi tidak akan maksimal meski potensinya sangat besar.
Kondisi osteomalasia sendiri memperlihatkan betapa gentingnya peran vitamin D. Studi terbaru pada pasien dengan patah tulang pinggul menemukan bahwa 41,7% memenuhi kriteria biokimia osteomalasia. Artinya, kelemahan tulang akibat kekurangan vitamin D nyata terjadi dan membawa dampak klinis serius. Kondisi ini tidak hanya membebani pasien, tetapi juga meningkatkan biaya kesehatan yang harus ditanggung negara. Apabila defisiensi vitamin D dapat ditekan melalui fortifikasi, maka risiko osteomalasia sekaligus beban ekonomi kesehatan juga bisa dikurangi. Dengan demikian, fortifikasi vitamin D bukan hanya intervensi gizi, melainkan juga strategi kesehatan publik yang bernilai ekonomis.
Oleh karena itu, fortifikasi vitamin D pada susu harus dipandang sebagai investasi kesehatan jangka panjang. Untuk mewujudkan keberhasilan program ini, dibutuhkan kolaborasi erat antara pemerintah, industri pangan, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang jelas dan memberikan dukungan berupa subsidi agar harga susu terfortifikasi tetap terjangkau. Industri pangan harus memastikan kualitas produk, stabilitas vitamin selama penyimpanan, dan informasi label yang transparan. Sementara itu, masyarakat perlu diedukasi untuk menjadikan susu terfortifikasi sebagai bagian dari kebiasaan sehari-hari. Jika semua pihak dapat berkontribusi, maka fortifikasi vitamin D pada susu dapat menjadi langkah preventif yang kuat dalam menjaga kesehatan tulang.
Pada akhirnya, segelas susu terfortifikasi bukan sekadar minuman bergizi, melainkan simbol dari strategi kesehatan masyarakat yang visioner. Ia menjadi perisai yang melindungi tulang dari rapuhnya osteomalasia, sekaligus solusi untuk memperbaiki kualitas hidup generasi kini dan mendatang. Fortifikasi vitamin D adalah bukti bahwa inovasi dalam bidang pangan dapat menjawab tantangan gizi modern dengan cara yang sederhana namun berdampak luas. Melalui implementasi yang konsisten dan dukungan berbagai pihak, cita-cita membangun masyarakat bebas dari defisiensi vitamin D bukan lagi sekadar harapan, tetapi sebuah kenyataan yang dapat diwujudkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI