Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Metafisik: Rabo Pahing 17 April 2019 dan Pemilu [4]

17 April 2019   19:25 Diperbarui: 17 April 2019   19:32 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Metafisik: Rebo, Pahing 17 April 2019 Dan Pemilu [4] selesai

Rabu, 17 April 2019, Rebo, Pahing; pada hitungan weton Jawa, weton Rabu Pahing mempunyai jumlah neptu 16. Nilai neptu ini didapatkan dari jumlah nilai hari Rabu (7) dan nilai pasaran Pahing (9). Dengan menggunakan tafsir Hermeneutika, lalu siapa yang menjadi pemenang dalam pemilihan "Presiden dan Wakil  Presiden  pada 17 April 2019". Pertanyaan konyol, jika ditanya kepada para akhli metafisik. Dan Jawaban pada saat tulisan ini di susun hasil quick count atau hitung cepat perolehan suara jelas menunjukkan kemenangan Pasangan 01.  Berikut ini adalah hasil evaluasi akhir tulisan metafisik pada tulisan [1,2,3] sebelumnya;

memilh1-5cb71b19a8bc155e947ef9b2.png
memilh1-5cb71b19a8bc155e947ef9b2.png
Ke [1] Sedkit saya ulangi kalimat yang sama tulisan saya ke [3] sebelumya dua calon Capres sama sama Weton Rabu  .....[Hari Rebo Pon] atau adalah watak Wodin atau Woden, Wuotan, wodanaz, wodaz, wodjana, memiliki 170 watak.  Kata sifat  wodaz (atau wodo, widodo, wondo,) selanjutnya dinamai  pikiran, kecerdasan, jiwa, indera. ... kemudian pada tulisan ke [3] saya katakan ... Ke [6] Sesungguhnya jika ingin dibahasakan lebih agak kongkrit dan kurang sopan, maka saya terpaksa meminjam istilah Jawa disebutkan sebagai "Rai gedheg" (berarti "ora duwe isin" alias tidak punya malu, atau sifat subjektivitas bernama "sabar nrimo" atau "nrimo ing pandum". [lihat tulisan saya ke [3] diposting di Kompasiana pada pukul 17 April 2019 jam  02:30 WIB.

Dalam riset saya dua mantra kata  ini memiliki arti dasa nama [8] makna, tetapi secara prinsip "tidak mencoba lebih dari satu kali jika pernah gagal, maka jangan mencobanya lagi. Maka salah satu dari petarung pada dua calon presiden yang dipilih hari Rabu Pahing, dan lahir atau Weton  [Hari Rabu Pon] telah mencalonkan diri sebanyak 3 kali dalam pilpres atau calon wakil presiden yakni tahun 2009, 2014, dan 2019.  Jelas dengan meminjam  term " nrimo ing pandum" pencaloan berulang-ulang adalah bertentangan. [lihat tulisan saya ke [3] diposting di Kompasiana pada pukul 17 April 2019 jam  02:30 WIB.

Ke [2] Jadi secara metafisik dan bakat alami saya bidang Filsafat MKG ['Manunggaling Kawulo Gusti'] yang sudah saya pelajari selama 22 tahun berarti bersatunya antara Presiden Indonesia (Golong) dan rakyat (Gilig), maka siapa yang memahami idiologi filsafat MKG menghasilkan kompetensi metafisika makna paling dalam "weruh sak durunge winarah" disejajarkan dengan ["mengetahui memahami segala sesuatu sebelum waktunya terjadi"]; hal ini sudah saya bahas dalam tulisan ke [1,2, 3] sebelumnya. 

Maka mohon maaf sebelumnya jika boleh saya memberikan saran  untuk masa depan jika ingin mencalonkan diri sebagai "Presiden Indonesia" ada baiknya memahami terma "Wahyu Prabon" atau sejarah dalam perjalanan Mataram Kuna atau Indonesia Kuna,  membentuk Indonesia Modern sebagai awal atau daya purba metafisik.  Ini lah yang saya sebutkan sebagai wujud Jawa Kuna, Indonesia Kuna menyebut dalam narasi berbunyi "Owah ono gingasring kahanan iku soko kersaning Pangeran Kang Murbahing Jagad" artinya: Perubahan [presiden terpilih] itu hanya atas kehendak Tuhan Yang Menguasai Jagad (alam semesta) kemudian dipakai menciptakan apa yang saya sebut sebagai sebagai "Ngesti Suwung Wenganing Bumi" (Suasana Hening Membuka Bumi)  Indonesia menjadi lebih baik.

Ke [3] Bahwa riset filologi saya menemukan kata kunci tentang "nrimo ing pandum". Jika 1 kali sudah mencoba mencalonkan diri sebagai Calon Presiden sudah gagal, maka jangan pernah mencoba dua kali, tiga kali atau seterusnya. Sebab episteme "Wahyu Prabon" muncul bukan dengan cara diulang-ulang seperti itu ia berbentuk lurus, dan melingkar [siklis], ia bersifat inheren dan mengalami rekonsilisi dengan alam metafisika [alam purwo, alam madyo, alam wasono].

Atau dalam metafora lain sama dengan terma 8 makna  ["Sedulur Papat Limo Pancer"], direduksi menjadi dalam kisma [aspek makro kosmos atau buana agung] pada 4 gunung kembar yakni: Gunung Merbabu Merapi, Gunung Sumbing Sindoro, dan "lima pancer"  adalah "Gunung Slamet" atau menuju ada keselamatan atau persisi disini lah terjadi "Wahyu Prabon" diturunkan. Ia harus cocok dan harmoni dengan "Ingsun" sebagai Buana Alit atau Mikrokosmos. 

Demikian argumentasi ontologi, dan kosmologi Mataram Kuna dan Indonesia Kuna yang menjadi pusaka [Keris] agar menjadi pemimpin yang pantas dan layak menerima "Wahyu Prabon". Atau bisa tidak menjadi Presiden Indonesia harus tahu episteme dan ontology "Pulung Keprabon" atau Wahyu Makutarama Adalah Anugerah Dari Tuhan Atas Keinginan Doa Restu Para Leluhur yang menjadi manusia Indonesia itu ada; atau mewariskan daya purba ("force primitive") yang bukan material tetapi bersifat spiritual ".

Ke [4] Satu hal lagi yang mungkin perlu diingat dalam hasil riset filologi metafisika saya bahwa: eksistensi tentang "Pulung Keprabon" atau 'Wahyu Makutarama' Adalah Anugerah Dari Tuhan Atas Keinginan Doa Restu Para Leluhur yang menjadi Indonesia itu ada. Pencirian utama yang dapat diterima sebagai Harmonisasi pada Leadership Mataram Kuna, atau Indonesia lama adalah Kata "Mataram" secara umum dimaknai sebagai "ibu", atau kemudian digeser menjadi "Demeter" sebutan ibu pertiwi (Indonesia), untuk (mother land), atau (mater), atau Bunda Alam Semesta) atau diubah menjadi wangsa Sanjaya, atau diubah menjadi Wangsa Tanah, dan Wangsa Air dalam kebudayaan kemudian dikenal dengan "Tanah Air". Ada dua wangsa yang memerintah (wangsa) dan memelihara yakni Wangsa Air, dan Wangsa Tanah. 

Dua wangsa ini dalam wujud nyata menjadi dibekukan oleh manusia dalam kebudayaan sebagai tatanan (order) menjadi pusat wangsa disebut "ibu" dan "kota" atau ibu kota Negara tempat presiden memerintah. Maka ciri kongkrit Presiden atau Raja di Indonesia memiliki cara bicara lembuat, sejuk, datar, dapat menguasi emosi dengan sangat baik, sifat memangku, ngemong, dan bukan meledak-ledak, emosional, dan temperamental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun