Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Philosophy of Kaharingan Dayak [7]

31 Januari 2019   13:36 Diperbarui: 31 Januari 2019   14:36 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Philosophy of Kaharingan Dayak [7]

Proses kehidupan di bumi dilalui melalui tetesan air gunung madu rahu dan jatuh ke tanah kesekitar kaki mereka berdua terbentuknya "Bunda Alam Semesta", maka terjadilah kondisi berikut ini, (metak ranu madu rahu, lawu tane tipak sulau). Tetesan-tetesan  ini yang menjadi kehidupan manusia di bumi.  Bumi pada saat penciptaan ini hanya sebesar kaki mereka berdua, setelah satu-satu tetesan jatuh ke Tanah (berjumlah 9 tetesan) meliputi tahap satu berasal dari manusia perempuan (Dara Mula Lapeh)  terdiri tujuh kali tetesan air.

Dan pada  tahap ke  dua  setelah dua orang muncul udara, tertidur, melihat matahari atau cahaya terang, sehingga muncul dua tetesan air dari manusia laki-laki (Datu Mula Manta) akibat peran reproduksi (filsafat seksuasi) menjadi (a) rerumputan dan berbagai jenis tumbuhan, dan (b) menjadi burung dan segala jenis hewan.

Tahapan-tahapan Tetesan Air (uhuk dara mula lapeh) dari  Gunung Madu Rahu di  Tane Tipak Sulau. menjadi:  Tahapan I melaui manusia perempuan (uhuk dara mula lapeh), menjadi 7 (tujuh tetesan jatuh ke "Bunda Alam Semesta").

  • Tetesan pertama [(uhuk dara mula lapeh) welum jari kayu saramelum, tumu malar mangamuan matei"]  dimaknai tumbuh menjadi pohon yang buah dan daunnya biasa dipergunakan untuk membangun (menghidupkan orang yang mati) disebut kayu saramelum atau pohon kehidupan manusia. Dalam metafora Kayu ini tetap hidup dibawa dan ikut ditanam dalam kampung Dewa Kaharingan Etuh atau Etuh Bariungan atau "Nini Punyut"  Nan Sarunai. Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan kepada Nini Punyut, sampai anaknya Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei", dan dipakai terakhir oleh Silu dan Ave (dua-duanya wanita saat membangkitkan manusia yang mati pada serangan Sarunai Usak Jawa (serangan Majapahit Gajah Mada). Hilangnya marwah akibat dibakar Gajah Madam maka  mati layu dan terbakar, hanya sempat digunakan satu kali ketika Silu, dan Ave sempat mematahkan daun batangnya bersembunyi saat perang NanSarunai, dan tamat riwayatnya sampai di sini).
  • Makna lainnya yang bias ditafsir secara hermeneutika semiotika bahwa sampai saat ini makna ontolgis pohon ini digambarkan dalam simbol pohon "Watang Garing" sebagai pohon keselamatan suku Dayak, simbol baliho, simbol baju batik adat, dan simbol menyatunya manusia, alam dan Tuhan. Simbol Guci, Tombak, dan Sumpit beserta Mandau berada dilindungi oleh Watang Garing.
  • Bukti empiriknya sampai saat ini ada seorang petani di Desa Sungai Kayu, Handil Linan di RT 7 Kecamatan Kapuas Barat, berhasil melestarikan pohon tersebut. Petani ini tak lain adalah Sukah, pria paruh baya yang kesehariannya gemar bertani dan menanam tanaman hias. Hal ini tidak mengherankan sebab Ave , Silu, dan Marjahaji naik sungai Barito membawa pohon Watang Garing ini ke kampong Biaju atau Kapuas. Batang Garing atau Pohon Kehidupan, Ranying Hatalla lalu mengambil Peteng Liung Lingkar Tali Wanang. Ini adalah sifat kewibawaan yang Maha Besar dan Maha Agung Ranying Hatalla. Ketika Ranying Hatalla mengambil Peteng Liung Lingkar  Tali Wanang, terdengarlah gemuruh halilintar yang memekakkan telinga. Peteng Liung Lingkar Tali Wanang lalu menjelma menjadi Tambun Hai Nipeng Pulau Pulu. Ini adalah Kekuasaan yang Maha Kuat dari Segala Penjuru Kebesaran Ranying Hatalla. Maka pohon watang garing symbol seperti Gunungan Wayang di Jawa.
  • Tetesan yang kedua, ["ruruh rimis mangapurun, jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung"], tumbuh jadi padi ("jari wusi parei gilai, janang wini gunung lungkung"). Makna hermeneutika dan semiotika padi yang ada sekarang berasal dari tetesan kedua dari tetesan air dari puncak Madu Rahu tadi. Dalam kenyataannya diwariskan kepada Nini Punyut sebagai penemu dan menyeleksi biibit awal, kemudian dilanjutkan oleh Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei ", melalui penemuan dan pertemuan dengan "Itak Pumpun Wusi" (Dewa Kesuburan Padi), dan dilanjutkan oleh Awahat (menjelma menjadi lintang bintang awal tanam padi, dan Suaminya Nalau melalui Jala Babi menjadi bintang akhir masa menanam padi. Maka padi adalah symbol gerak ruang waktu dan aktivitas manusia. Pada sejarah membuat ladang pertama di sebut  Ume ta'un: diawali dengan Supak wasi (membawa beras dan peralatannya nginap dihutan sambil membabat kayu kecil (tamaruh) bisanya  memerlukan waktu antara 2 sampai 4 malam). Ngantara umpu'i (mencari restu atau mencari suara tanpa rupa) tanda dari alam semesta menunggu simbol bunyi burung. Apabila yang ditunggu bunyi burung kecil  "duit-duit" maka calon ladang dapat dilanjutkan dan bisanya berhasil kelak; sedangkan apabila bunyi burung resek-resek maka calon ladang batal dan bisanya ditinggalin untuk mencari tempat lain yang lebih baik. Semacam cara mengitung neptu Jawa. Sampai saat ini bagi  suku Ma'anyan Kaharingan tumpuk (Kampung atau komunitas adat) atau tempat upacara adat, sedangkan ladang atau sawah (bahasa Ma'anyan : umetaun) adalah tempat bekerja, tempat santurui. Tumpuk (Kampung) adalah pusat kegiatan adat, tempat adat dilaksanakan, baik acara kegembiraan dan acara kesedihan, lokasi menyimpan benda-benda adat, dan tempat menetap, tempat kembali pulang setelah pergi santurui (berladang) ke tempat lain.
  • Tetesan ketiga (uhuk dara mula lapeh) menjadi ["jari ilau manyamare, awai supu mangujahan"], minyak sakti dalam supu dan kapas dapat dipergunakan penyembuhan kepada orang sakit (tetap di bawa oleh Nini Punyut sebagai Dewi Titisan Allah mula Allah) pada kampung Nan Sarunai. Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan kepada Nini Punyut, sampai anaknya Amah Jarang, "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei ", dan dipakai terakhir oleh Silu dan Ave (dua-duanya wanita saat membangkitkan manusia yang mati pada serangan Sarunai Usak Jawa, bersama kayu  layu saramelum.
  • Minyak ini masih ada sampai sekarang dalam bentuk {supu} dipakai oleh Wadian untuk upacara penyembuhan orang sakit (mi'empu) atau Wadian Pangunraun' atau Wadian Welum Matei (Wadian upacara kematian atau dalam menjalankan kehidupannya). Uniknya kualitas minyak bertambah atau berkurannya volume jumlah minyak dalam supu tergantung batin jodoh seorang Wadian, perolehan atau cara mendapatkan minyak supu ini dilakukan dengan pertapaan pada malam hari saat bulan purnama, dengan duduk meditasi di atas lesung (tempat menumbuk padi). Maka jika restu diperoleh minyak tersebut bertambah banyak, dan jika tidak memperoleh restu alam semesta maka minyak dicampur kapas tersebut mongering dan kosong.
  • Tetesan (uhuk dara mula lapeh) yang ke empat ["jari wundrung amirue, janang lunsing salulungan"],  hidup jadi roh, jiwa, dan tubuh  manusia yang berdiam dalam badan kita atau  "jiwa yang hidup". Dalam kenyataannya diwariskan diwariskan/digenapkan kepada Nini Punyut melalui acara hukum adat  pernikahan suku Dayak, dan  tidak boleh melakukan seks bebas seperti hewan. Nilai spiritualnya adalah menyatunya tubuh antara pria dan wanita harus melalui menyatunya roh manusia tersebut terlebih dahulu secara adat. Misalnya jika pria dan wanita hendak menikah dan mencari jodoh maka dikumpulkan secara terpisah beberapa orang misalnya 3 pria, dan 3 wanita secara terpisah. Ketua adat kemudian membuat masakan sajikan secara terpisah. Setalah makan kemudian dipanggil bergantian. Dan yang memiliki rasa makanan sama disebut memiliki Jodoh dan boleh menikah. Jika memiliki rasa berbeda maka tidak bias dinikahkan. Keutamaan manusia adalah "sembah rasa" atau penyatuan ["Amirue"]. Tafsir secara hermeneutika dan semiotika maka awal segala sesuatu gerakan adalah adalah {"amirue" dalam bahasa Dayak Wadian) atau diterjemah menjadi Nous, atau roh atau rasio manusia. Maka "Amirue" adalah alat menyatukan semua hal (mikrokosmos) dengan makrokosmos. Dokrin "Amirue" atau logos atau rasio dunia mampu menyatukan hal-hal bertentangan sehingga menjadi satu dalam harmoni. Dan "Amirue" adalah kebijksanaan itu sendiri.
  • Tetesan (uhuk dara mula lapeh) yang kelima ["jari nanyu saniang, janang hiang piumung"] menjadi roh-roh malaikat pelindung yang biasa membantu dan melindungi manusia dari bahaya dan gangguan penyakit apa pun. Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan oleh Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei ",  petunjuk pencarian mata air pada tumpuk baru Gunung Rumung  yaitu Roh tetesan air yang ke lima, supaya tersebut bisa memberi petunjuk dimana bisa mendapat mata air yang bisa mencukupi kehidupan mereka. Penggenapan lain adalah Teluk Ma'anyan "selama 7 hari 7 malam Damung Baning bertapa dengan rakit gedang pisang yang besar-besar tujuh potong gedang pisang untuk membuat rakit. Pada malam ke 7 (tujuh) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba-tiba muncul dari dalam air diteluk tersebut perlahan-lahan kepala manusia lengkap dengan lawung lawai semakin lama semakin keluar badannya. Setelah di lihat seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian dukunnya lalu minta di sambut oleh Damung Baning, gong tempatnya duduk dan kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5 (lima) yang sempat di angkat. Itulah asal "Agung Garinsingan, Kangkanung Nyiang Lengan", pusaka Wadian  orang Dayak Ma'anyan walaupun benda pusaka tersebut entah di mana sekarang tidak diketahui tempatnya, apakah benda tersebut dijual, ditukar guling, dicuri, atau menghilang gaib karena tidak dirawat dengan baik. Kalau pendapat saya secara batin benda pusaka tersebut ikut menghilang kembali alam sebab kebanyakan para Wadian tersebut sudah banyak yang meniggal ataupun pindah agama Kristiani. Adapun wanita tersebut sebagai penjelmaan  Dewa Dewi atau disebut  "Wadian Pangunraun', guna melaksanakan adat istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan roh tetesan ke enam dari tanah kejadian dulu di tane tipak sulau. Wadian Pangunraun (Pangunraun Jatuh, Pangunraun Jawa), Wadian Dapa, Wadian Tapu Unru, wadian dadas, wadian bawo, wadian bulat. Dewasa ini, selain untuk pengobatan.
  • Tetesan (uhuk dara mula lapeh) yang keenam "jari suling wulian, janang riak rayu rungan" menjadi Dewa Dewi yang biasa membantu para Mantir Adat,  atau Wadian Welum Wadian Matei (acara kehidupan dan kematian) jika diperlukan.  Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan se-ekor burung elang menari dan menangis di kepala Amah Jarang  "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei", yang kemasukan (kesurupan) oleh Roh air Tetesan yang keenam menjadi Dewa Dewi yang biasa membantu para pemimpin Mantir adat atau Wadian Welum-Wadian Matei jika diperlukan dari puncak Gunung Madu Rahu pada era Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei. Kejadiannya terjadi  ketika akan berperang melawan Nan Sarunai Usak Jawa sebagai tanda kematian banyak masyarakat ketika itu. Pengenapan lain adalah adalah ketika Nan Sarunai bubar dan memasuki kampung baru Gunung Rumung, hingga Patai Siung Telang ketika mereka sangat sulit mengatur hidup. Pada malam hari bermimpilah Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei", datang dari Roh Dewa Dewi dari tetesan air yang ke enam, memberi petunjuk agar Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei ", membakar dupa kemenyan dan mencampur biji beras dengan minyak dan kunyit, supaya beras tersebut kuning dan menabur sebagai pesuruh menuju Roh tetesan air yang ke lima dari tanah kejadian dulu, agar bisa memberi petunjuk di mana bisa mendapat mata air yang bisa mencukupi kehidupan mereka Ugang Amah Jarang (Pemuan Mata Air dibalik batu oleh Jarang). Menurut saya penemuan ini terjadi pada Amah Jarang "Datu Telang Tuha, Maharaja Wulu Kesai Lawei", adalah "ngu'ut ranu petak watu" pada saat Allah mula Allah menciptakan manusia pertama di dunia khayangan tempo awal penciptanNya. Penggenapan akhir  adalah Teluk Ma'anyan (kampung sungai Siung-Telang ketika  "selama 7 hari 7 malam "Damung Baning" bertapa dengan rakit gedang (pisang) yang besar-besar tujuh potong gedang pisang rakit disungai. Pada malam ke 7 (tujuh) angin rebut, guntur petir, hujan lebat, tiba-tiba muncul dari dalam air diteluk tersebut perlahan-lahan kepala manusia lengkap dengan lawung lawai semakin lama semakin keluar badannya. Setelah di lihat seorang wanita cantik lengkap dengan pakaian Wadian lalu minta di sambut oleh "Damung Baning", gong tempatnya duduk dan kangkanung tempatnya berpijak tujuh buah, namun terlepas 2 (dua) hanya 5 (lima) yang sempat di angkat. Cirinya nada yang di pakai dalam musik suku Dayak Ma'anyan adalah 5 nada hingga saat ini. Itulah asal dalam bahasa Ma'anyan "Agung Garinsingan, Kangkanung Nyiang Lengan", pusaka milik orang Dayak Ma'anyan tapi benda tersebut entah di mana sekarang tidak diketahui tempatnya. Adapun wanita tadi sengaja diberi Dewa Dewi untuk "Wadian Pangunraun", guna melakanakan adat istiadat yang menyangkut roh tetesan ke lima dan roh tetesan ke enam dari tanah kejadian dulu di Tane Tipak Sulau termasuk berfungsi untuk melakukan tata kelola dan acara hidup matinya manusia tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu". Saat ini terdapatnya Tari Iruang Wundrung  (Dayak Ma'anyan)  oleh kelompok penari perempuan, disebut "Wadian Dadas" bersama-sama dengan kelompok penari laki-laki, disebut "Wadian Bawo". Tarian ini biasanya dibawakan di berbagai upacara ritual orang Dayak Ma'anyan, seperti upacara penyembuhan, pernikahan, penyambutan tamu dan tradisi tahun baru (waktu panen pertama). Janur kelapa yang menjadi asesoris penari digunakan sebagai simbol untuk mengusir roh-roh jahat yang akan mengganggu jalannya upacara. Hasil riset saya menyatakan apa yang disebut ["nanyu saniang, janang hiang piumung"] atau disebut Panglima Burung Enggang Dayak sesunnguhnya adalah alienasi diri pada ["nanyu saniang, janang hiang piumung"] .  Dan itu bisa  dipanggil dengan cara ritual tertentu, atau patrap tertentu yang tidak saya tuliskan meskipun saya paham dan bisa melakukannya. Intinya disebut ["nanyu saniang, janang hiang piumung"] atau disebut Panglima Burung Enggang Dayak Kaharingan mampu dikomunikasikan dengan upacara atau tanpa upacara jika memang sudah dihadapkan pada kondisi tertentu maka seluruh isi ["nanyu saniang, janang hiang piumung"] atau disebut Panglima Burung Enggang Dayak datang hadir membantu kehidupan manusia. Secara umum komunikasi bisanya dilakukan oleh Wadian Pamungkur.

Philosophy of Kaharingan Dayak [7]
Philosophy of Kaharingan Dayak [7]
  • Tetesan (uhuk dara mula lapeh) yang ketujuh ["jari tumpuk tunyung punu, guha mari dandrahulu"] menjadi  kampung  tempat Roh orang yang sudah mati, Tetesan ini disebut Tumpuk Tunyung Panu, Guha Mari Dandrahulu. Ini adalah sebuah tempat diandaikan seperti Kampung tanpa mampu diindrai mata. Manusia meninggal rohnya disebut pulang kampong dan kampong itu disebut [tumpuk tunyung punu].  Pulang kampung Tumpuk Tunjung Panu secara ritual tradisi ada di Gunung Lumut. Gunung Lumut adalah gunung kampung tempat pemukiman manusia yang telah habis masa tugas didunia sementara ini. Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan oleh Nini Punyut melalui melalui pulang ke Kampung leluhur asal usul mereka. Sekarang ini disebut "Pegunungan Lumut, Muller, Iban, Kapuas Hulu, Schwaneer dan Meratus". Pegunungan ini ditemukan oleh peneliti berkebangsaan Belanda yaitu Schwanner dan Muller sewaktu melakukan ekspedisi di Pulau Kalimantan. Dalam ekspedisi ini Tuan Muller meninggal dunia diambil leluhur suku Dayak Ma'anyan, sehingga ekspedisi harus diselesaikan sendiri oleh Schwanner. Untuk mengenang jasa keduanya, pegunungan tersebut dinamakan Pegunungan Schwanner Muller oleh Pemerintah Kolonial Belanda, dan sampai sekarang gunung tersebut masih menggunakan nama tersebut. Khusus suku Ma'anyan Gunung Lumut dan Gunung Maratus adalah tempat nanyu datu (adiau) dan pemukiman akhir Kaharingan tepatnya di antara Kecamatan Long Ikis dan Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Pasir-Kalimatan Timur, Kalimantan Selatan, sampai di wilayah Kecamatan Gunung Purei, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah atau gunung ini adalah perjumpaan 5 provinsi di Kalimatan. Kawasan Gunung  Lumut merupakan hutan sakral sebagai tempat pengantar "adiau" (=arwah leluhur) orang meninggal dunia menuju "lewu tatau" (rumah tempat kaya raya) atau sorga atau tempat pemukiman terakhir roh-roh nenek moyang suku Dayak Kalimantan khususnya penganut agama Kaharingan. Gunung Lumut merupakan tanah suci perjanjian bagi suku Dayak, khususnya Ma'anyan penganut Kaharingan. Menurut kepercayaan Dayak Kaharingan, manusia berasal dari keturunan Raja Bunu yang menuju jalan pulang ke Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa di Kayangan). Raja Bunu adalah anak dari pasangan Manyamei Tunggul Garing Janjahunan Laut dan Kameloh Putak Bulau Janjulen Karangan Limut Batu Kamasan Tambun. Manyamei Tunggul Garing dan Kameloh Putak Bulau merupakan menurut   Kaharingan adalah manusia yang pertama kali diciptakan oleh Ranying Hatalla Langit, lihat tentang "Maneser Panatau Tatu Hiang" dalam konteks Kaharingan suku Dayak Ngaju di Kapuas.

Tetesan tahap ke dua terjadi ketika dua orang ini di tiup angin, tertidur, melihat terang matahari, lalu mereka berdua saling  suka sama suka, sehingga muncul hasrat produksi dan reproduksi  (palus ipa'muma ume anri dara mula lapeh). Tetesan sperma ini menjelma jatuh ke "Bunda Alam Semesta" dari alat kelamin manusia laki-laki (Datu Mula Manta) berubah menjadi: (8) Tetesan air yang kedelapan kemaluan manusia laki-laki pertama tadi jatuh ke bumi (tane=tanah) dan tumbuh jadi semua jenis pohon, dan rumput--rumputan (jari rikut sa irunrean, jari tanang kayu). 

Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan Nini Punyut melalui seleksi pohon-pohon yang dapat dijadikan rumah dan tempat tinggal, upacara adat, balai, dan lain-lain. Penyebaran tumbuhan dan rerumputan dilakukan Nini Punyut sebagai tugas hewan liar (akibatnya Tane Tipak Sulau meluas = tane pirarahan) dengan memakan buah, batang, biji kemudian menyebar ketempat lain melalui kotorannya sehingga semakin meluas kampung halaman manusia. Sampai saat ini dipakai menjadi tumbuhan yang dipakai Wadian Mantir adat dalam penyembuhan orang sakit seperti simbol Wadian rapui.

(9) Tetesan  air ke sembilan kemaluanya laki-laki ke tane tipak sulau (ke tanah kaki mereka berdua), hidup jadi berbagai marga satwa memenuhi alam purba itu, berbagai jenis binatang di bumi dan berbagai jenis binatang (jari wurung sa ngawuwean wurung, janang eha ngawuean eha). 

Semua hewan ini ada bersama dialam purba itu satu bumi, satu alam, satu bangsa (satu mahluk), satu bahasa yaitu bahasa purba (Bahasa Nahu) yang artinya saling mengerti, namum belum mempunyai adat istiadat. 

Dalam kenyataannya diwariskan/digenapkan oleh Nini Punyut melalui peraturan dua kali, sehingga ada dua kelompok hewan yang ikut aturan manusia (dapat dipelihara disekitar rumah), dan kelompok hewan liar yang tidak ikut aturan manusia). Tradisi simbol burung sampai saat ini dipakai oleh suku Dayak Ma'anyan untuk mencari jawaban layak atau tidaknya restu alam untuk pembukaan ladang (umme taun) dalam menanam padi.

Demikianlah riwayat metafora Kosmogoni  penciptaan manusia menurut "Allah mula Allah" dalam kepercayaan suku Dayak Ma'anyan asli penduduk Kalimantan sebagai  Kaharingan, mereka hidup secara bebas tidak ada hukum adat sebab belum ada pengatur tentang hukum adat tersebut atau di sebut "pidudusan mantir ngurai hukum, tapung jangka patis merang hadat, hukum hadat ma kananeo welum, atur turan ma kalalawah jari". Belum ada  ["Nomoi"] atau peraturan yang menata kehidupan, dan relasi diantara tetesan ke 9 ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun