Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Punggawa

26 Maret 2018   10:34 Diperbarui: 26 Maret 2018   10:38 912
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bahasa atau {"the Symbolic"} adalah mengatakan apa yang tidak dapat dikatakan. Tetapi pada sisi lain bahasa sama dengan {"ada"}. Tidak ada berarti belum dikenakan bahasa, atau sesuatu itu ada tapi belum ada bahasa yang dapat dikenakan padanya. Itu disebut sebagai {"the Real"}.Tetapi ketika {"the Real"} dikenakan bahasa maka pada posisi ini manusia memasuki tahap subjek dan membedakan. Membedakan aku, dan bukan aku (ego). Artinya {"the Real"} belum dapat dikenakan bahasa, atau tidak ada pembeda aku dan bukan aku.

Manusia dalam kandungan ibunya, semua tidak ada kekurangan, apapun kebutuhan, makanan, minuman, dan seterusnya. Pada fase inilah manusia bahagia atau fase {"the Real"} dan tidak ada keterpisahan. Pada fase kelahiran maka bentuk alienasi mulai terjadi bahwa si bayi pertama keluar menangis (simbol bahasa) atau {"the Symbolic"} pertama, dan simbol kedua adalah dokter mengenakan bahasa (anak ibu laki-laki atau perempuan). Bahasa pada tahap awal ini terus berkembang dan tumbuh dalam ruang, dan waktu, seolah-olah ada perjuangan manusia kembali kedalam perut ibu kembali atau ketidakmungkinan. Maka bahasa adalah upaya kembali kepada ketidakmungkinan atau wujud kerinduan kembali kepada praeksistensi manusia sebelum terpisah dari kandungan ibunya.

Manusia adalah berada pada dua tegangan antara {"the Real"}, dengan {"the symbolic"}. Diantara yang antara {"the Real"}, dengan {"the Symbolic"} manusia juga mengalami tahap nasisme diri. Narsisme ini adalah pantulan realitas diri (semacam mirror stage) pada upaya pendefinisian ego. Pada tahap pantulan diri atau imajiner (keinginan atau permintaan) ini, maka jika pada tahap awal simbol menangis, dan pada tahap ini memasuki antara kebutuhan anak sebagai makan, minum, tidur, menangis kemudian disatukan melalui air susu ibu kembali menjadi satu dengan ibunya dan diam tenang. Dengan perkembangan waktu maka tahap selajutnya bahasa menangis, dan air susu tidak cukup lagi bagi dirinya (kebutuhan primer). Maka kekurangan (lack) hadir ketika anak memasuki tahap mirror stage, mengalami kecemasan, dan melalui imajinasi merasa ada yang kurang pada dirinya.

Ada konflik antara wilayah {"the symbolic" pada keingian}, dengan keinginan memenuhi segera antara diri (ego) dengan objek diluar dirinya. Umumnya diri (ego) selalu mendambakan keutuhan, dan kesatuan.  Maka {"the symbolic" pada keingian disebut Phallus. Phallus sebagai signifikasi atau disebut simbol hasrat. Phallus merujuk kepada "hasrat manusia terhadap yang utuh dan lengkap. Dan tidak berhubungan dengan tipe seksuasi (jenis kelamin). Phallus adalah simbol atau penanda kekurangan dan hasrat. Phallus adalah  signifier dari hasrat dan lackness bersifat universal, permanen, dan konstitutif seluruh umat manusia.

Keinginan adalah wujud kekurangan, atau memiliki makna ketidakhadirnan atau ke-lain-an (Liyan), dan persis keinginan inilah memunculkan system linguistic atau tatanan simbolik bahasa, berbeda dengan tatanan {"the Real"}.  Inilah disebut sebagai kekurangan (lack). Bahwa keinginan dan kekurangan (bisa muncul karena mirror stage)  justru memungkinkan manusia bisa menjadi manusia. Hanya dengan kekurangan memungkinkan adanya system social, dan masyarakat.  (1) struktur bahasa, (2) kekurangan/lack, (3) imajiner, (4) the real, menciptakan Jouissance.  Jouissance  diterjemahkan sebagai enjoyment (kesenangan);  atau jouissance lebih banyak merujuk kepada kenikmatan (pleasure) yang dicapai setelah kebutuhan biologis alamiah terpenuhi. Dengan demikian jouissance hanya ada dengan prakondisi adanya pain. Misalnya kepuasan karena kenyang hanya ada karena lapar yang sangat. Dengan demikian di dalam jouissance yang terjadi adalah proses dialektik prinsip pain-pleasure.

Bahwa disamping struktur bahasa, maka relasi ibu, dan anak justru kemudian anak tahu, tubuh ibunya bukan miliknya, tetapi milik ayahnya. Orang tua laki-laki atau Ayah adalah simbolisasi alienasi atau mencerabut keintiman air susu ibu dengan anaknya. Maka ayah adalah guru pantasi dan mewakili masyarakat  adanya pengandaian mengenai mitos primal father. Bapak menjadikan simbol bahwa manusia menjadi manusia apabila mampu dan sanggup  mengisi "kekosongan" atau kekurang permanen itu. Laki-laki itu adalah Primal Father, sang bapak primordial dalam mitos Freudian Totem and Taboo. Posisi ayah  memberi imajinasi sapaya anak bisa memasuki arena the Symbolic. Esensi laki-laki (sebagai totalitas universal didefinisikan di dalam fungsi phallus) mengimplikasikan adanya "sang bapak" atau representasi seluruh sistem penanda dan tatanan.

Baik laki-laki atau  perempuan sebagai subyek yang selalu kekurangan. Maka pendefinisian manusia pada tema gender menjadi tidak relevan, bahwa  hubungan atau perbedaan seksual tidak bisa dipertahankan. Definisi jenis kelamin atau  seksuasi adalah posisi subyek dalam berhadapan atau berkonfrontasi dengan keseluruhan hasrat, fantasi serta bentuk-bentuk kastrasi dalam kehidupan.

Bagimana jika  pemisahan menandai sirkulasi jouissance kepada sang Lain. Inilah penyerahan dan sirkulasi jouissance kepada yang lain dan kepada the Symbolic (orang tua, keluarga, atau negara). Jouissance  adalah identic dengan theory agency (Jensen Mackling 1976), bahwa konflik antara pemilik modal (Kapitalisme), dengan manajemen(agent). Manajemen adalah tenaga kerja yang menghasilkan barang atau jasa atau  menyediakan ekstrasi atau substraksi dari kelas pekerja dalam bentuk "nilai lebih". Nilai ini ditarik dari kelas pekerja (manjemen), di sini kelas pekerja merupakan pihak yang mengalami kehilangan.

Kehilangan jouissance atau penyerahan jouissance  kepada yang lain, dalam simbol bahasa Tuan, dan Budak. Tenaga budak ditransfer ke tangan sang Lain pemilik modal (owners) melalui mekanisme "pasar bebas'. Di titik ini nilai lebih (surplus value) sama dengan nikmat lebih (surplus jouissance). Kapitalisme menciptakan "kehilangan" dalam dirinya, kehilangan yang memungkinkan mekanisme pasar berdiri. Dengan menjadi subyek kinerja perusahaan maka manusia "rela" berkorban termasuk tidak dibayar lembur, telat gaji, dan penindasan kekuasaan dalam simbolik bahasa. Hanya dengan rela berkorban memungkinkan manusia menciptakan relasi (dalam cinta).

Pada kondisi ini maka pegawai, kuli, buruh, budak,  adalah bentuk {"Kastrasi"} domainasi dan eliminasi. Kastrasi adalah sebuah proses penyerahan jouissance kepada the Other. Proses  penyerahan jouissance kepada the Other bisa kepada Adat, Hukum, Pajak, Agama, Polisi, atasan di Kantor, gaji dikasih kepada anak, kepada pasangan, kepada orang tua, bahkan kepada negara dan bangsa. Kastrasi menandai kehilangan dalam kaitannya dengan  pada tataan the Symbolic. Yang hilang adalah jouissance. Kastrasi adalah sebuah proses penyerahan jouissance kepada the Other. Jouissance adalah bentuk alienasi dalam tatanan manusia.

Lalu bagimana disebut manusia yang dapat disebut  "tipe ideal"  atau subyek "par excellence". Jika saya meminjam definisi Nietzche pada "beyond evil and good", maka jelas tipe subjek "par excellence"  berada pada kondisi melampaui strukutur  bahasa simbolik. Atau menunda hukum, menunda kebenaran, dan kesalahan, atau semacam melompat pada sikap melampaui apa itu baik, dan apa itu jahat. Atau mengambil sikap  melampaui  simbolisasi bentuk tatanan atau semacam tindakan melawan berkonfrontasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun