Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Money

Paradoks Ekonomi "Free Market"

22 Februari 2018   00:31 Diperbarui: 22 Februari 2018   00:40 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paradoks Ekonomi Pasar Bebas

Terdapat terminologi cara pemahaman unik di antara para pewaris akhli pemikir misalnya: (a)   Ren'e Descartes (1596-1650), aku berpikir maka aku ada (=Cogito ergo sum), (b) Santo Agustinus (354-430), kalau aku keliru itu berarti saya ada (="Si fallor, sum,"), (c) Maine de Biran (1766 -- 1824), Saya  Merasa,  Maka Saya Ada (=Volo, ergo sum), sehingga sampai kepada Kant (1724-1804), kebaikan tertinggi (summum bonum).

Kata-kata mantra filsafat saja sudah saling mendukung, dan sekaligus saling berlawanan atau  paradoks. Artinya eksistensi manusia dapat dipahami dari cara pandang dunia yang berbeda-beda. Karena rumitnya memahami manusia multidimensional ini maka ada baiknya sikap bijaksana dengan membiarkan ruang buat manusia lain untuk diberikan ruang ekspresi berpikir, dan bertanggungjawab. Melalui diskursus akan memungkinkan adanya kedewasan cara berpikir untuk saling adu argumentasi untuk menghasilkan sintesis baru yang lebih memadai.

Pada artikel ini saya memberikan kerumitan universal antroposentrisme manusia jika dipahami dalam tindakan ekonomi sebagai bagian penelitian saya tahun 2013-2014 yang lalu.

Ekonomi (reproduksi kekayaan semaksimal mungkin) pada era modern mencapai puncaknya era pemikiran Marshall dalam hal ini (=100% hedonisme)...'the good ethic (moral) is resistence to pleasure', atau moral adalah penghalang maksimalisasi ekonomi, 'variety is the spice of life' menunjukkan kebutuhan manusia tidak ada batasnya (pelampiasan hawa nafsu).  

Artinya rasionalitas tak lain adalah (1) 'to make hedoism morrally acceptable'; (2) you can either serve God or Mammon, but it can not be both. Manusia dikatakan maju apabila berhasil menguasai faktor-faktor produksi (reproduksi) barang atau jasa untuk penciptaan nilai uang (laba). Banyak uang tanda diberkati, tidak punya uang tanda manusia sengsara, sekalipun uang tidak dibawa mati, tetapi jika tak punya uang perasaan mau mati. Maka reproduksi uang dikatakan  adil di cek dengan kompetisi, kemudian di ikuti dengan mekanisme ekonomi pasar bebas,  bersifat netral dan etis netral, atau mendekati rasio instrumental  (Weber).

Landasan ekonomi modern adalah wants (kebutuhan manusia tak terbatas), bukan needs (yang mengenal kecukupan), prinsip kelangkaan, pengejaran kesenangan pribadi, dan progress pada motivasi (=teori motivasi Maslow dan, ERG), pada kebutuhan material, keamanan, sosial, penghargan, sampai aktuliasai diri. Sekali lagi ini menunjukkan maksimalisasi nilai, sehingga manusia melakukan pelanggaran  demi memenuhi wants-nya. Atau dorongan nafsu tak terkontrol (id, ego, super ego) Freud. Sama hanya pada  Eric Fromm (1941) pangkal keruwetannya adalah 'freedom'. 

Menurut saya hal ini terjadi sikap yang menyebelah tanpa menjaga keseimbangan (=tanpa adanya penyatuan manusia, alam, dan harmonisasi), berdampak pada konflik lahir dan batin yaitu pertarungan antar manusia untuk memaksimalkan nilai ekonomi, tanpa submissiveness. Ungkapan batin menjadi perasaan "(self interest) vs God's interest" berakibat pada: tidak aman (insecurity), kesepian (aloneness), kecemasan (anxiety), terombang ambing (uprootedness), kecurigaan (doubt), takut rugi (losses), menjadi 'lust for power' (=keinginan untuk terus berkuasa dan menikmati keuntungan terus menerus), sampai menuju ke arah tirani Hitler, Mussilini, Stalin. 

Demikian pula perbuatan manusia menundukkan alam (untuk memaksimalkan kenikmatan) bahkan terjadi pemerkosaan alam. Alam sebagai faktor produksi reproduksi, tidak punya kemauan, tetapi bisa membalas dengan kekuatannya dengan memberikan bencana dan malapetaka. Yang jelas di abad ini kita merasakan krisis global secara menyeluruh.

Teori Utilitarian, Mill (1806-1873), dengan prinsip memaksimalkan rasa enak (bernilai) dan meminimalkan rasa sakit (tidak enak). Dasar pemikiran ini merupakan pangkal penelitian dan kajian dalam bidang ilmu ekonomi. Selanjutnya pendapat ini dikritik Bentham (1748-1832) sebagai pig ethics ("model saldo nikmat kurangi sakit, atau nikmat laba, sakit adalah rugi, dan biaya beban"). Betham mengusulkan etika dengan proposisi baru "the greatest happiness for the greatest number" (= kebahagiaan yang besar mungkin bagi jumlah yang terbesar mungkin),  dikotomi  tahapan nikmat (pleasure) dikurangin perasaan sakit (pain) harus ada saldo laba uang bertambah (cash in flow). 

Manusia rasional selalu memiliki kecenderungan memaksimalkan rasa nikmat (laba) dan meminimalkan rasa sakit (= kerugiaan atau biaya). Mill membuat prinsip kegunaan (utilitarisme) yaitu bertitik tolak pada situasi di mana manusia berhadapan dengan berbagai kemungkinan untuk bertindak dari  alternatif mana yang dipilih dan mempunyai nilai paling menguntungkan untuk mereproduksi barang, jasa, dan uang. Hal ini disebut hedoisme psikologis yaitu prinsip mencari kebahagiaan sebesar-besarnya melalui reproduksi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun