Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makna Kematian pada Dayak Kaharingan

11 Februari 2018   01:45 Diperbarui: 11 Februari 2018   23:17 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena, dan nomena kematian di era modern ini belum bisa menjawab tuntas secara ilmiah, dan tidak tahu persis kapan waktu kematian telah tiba kecuali bunuh diri. Kematian merupakan problem manusia belum bisa diatasi dalam artian mencegah supaya kematian itu tidak datang menjemput mereka.  Bahkan satu tarikan nafas, satu detak jantung sama dengan satu langkah kita menuju waktu kematian. Seluruh kebudayaan modern berusaha menunda paling tidak dengan teknologi, dan riset. 

Misalnya rumah sakit, obat-obatan, obat herbal adalah bentuk upaya takut akan kematian. Produk asuransi, BPJS, sepatu, helem, jaket, rumah, pagar, bantal, sarung, sandal, dan seterusnya sebenarnya adalah ungkapan tidak langsung supaya hidup sehat, dan mencegah datangnya kematian. Atau dengan kata lain hampir semua produk kebudayaan berbasis rasio intrumental ada makna tersembunyi meminimalkan datangnya kematian. "Kuat dugaan sintesis semua manusia takut mati" Manusia modern menganggap kematian adalah hilangnya nilai makna. Mati modern seperti matinya kulkas, tv, radio, hape, computer dan listrik. Bahkan manusia kota tidak akrab lagi dengan kematian atau kematian tidak memiliki nilai lagi maka dianggap merepotkan semacam cost biaya. 

Maka ada banyak bisnis  bidang kematian, seperti Pemakaman San Diego Hills Karawang,   rumah duka, mayat tidak mau dibawa pulang, ada  yayasan mengurus kematian, kargo pesawat,  dan jasa pemakaman, atau kremasi, bisnis peti mayat, bisnis batu nisan, bisnis perangaki bunga ucapan duka cita, bisnis dandan mayat, bisnis industri film horor,  jasa penggali kubur, atau jasa penjaga makam, jasa pendoa, dan seterusnya. Bahkan keluarga kadang tega orang sakit dijaga perawat, dokter, dan bukan keluarga sendiri, dibiarkan pakai selang berbulan-bulan, tidak dibawa pulang, dan seterusnya. Tetapi pada sisi lain makam-makam dikota besar dipakai jadi hunian, tempat bermain, dan digusur menjadi apartemen dan perumahan elit atau kantor-kantor bisnis. Namun pada lain sisi banyak sekali ditemukan semacam tradisi "Makam Kramat" untuk  mendapatkan restu ritual tertentu di beberapa kebudayaan.

Tetapi yang jelas ada kesan manusia mengalami era paradoks, dan melupakan kemomokan kematian (absurd), sekaligus memaknai kedalaman pada makna nilai kematian. Tetapi beberapa tradisi nusantara seperti di Tanah Toraja, atau  di Tanah Flores NTT, atau di Bali, atau di Tanah Dayak, manusia memiliki ikatan khusus, mendalam, dan keintiman dengan peristiwa kematian bersama seluruh dimensi  perjalanan batin. Hasil penelitian ini adalah diskursus yang memungkinkan adanya perbedaan persepsi, kemampuan metode analisis tentang arti makna kematian dikaitkan dengan era modern sekarang ini.

Secara umum Dayak Kaharingan membagi realitas kehidupan dalam trinitas siklus: di antara Wadian Matei (Makna Kematian), dan Wadian Welum (Makna Kehidupan), dan  Di antara Keduanya (Gabungan).  Ketiga memiliki makna yang sama dan tidak bisa dipisahkan, seperti koin uang logam. Hasil riset etnografi ini dilakukan pada Suku Dayak tentang makna kematian secara umum, sedangkan detailnya tidak semua dapat saya tuliskan. Bentuk pemahaman kematian tertinggi pada Dayak adalah adanya upacara “Ijambe Kaharingan” di wilayah Kalimantan: di Barito Timur Kalteng, dan Warukin, Tabalong, Kalsel. 

Tradisi Ijambe adalah bentuk literasi kehidupan Dayak ada sejak Kerajaan Nan Sarunai (“Gumi Ngamang Talam”) didirikan, semenjak adanya manusia pertama (Dara, dan Datu) penghuni langit dan bumi melalui Narasi Kosmogoni Dayak. Kaharingan artinya tumbuh atau hidup (mitologi wangsa air hidup). Kaharingan Dayak hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati dalam makna kehidupan sebagai kewajiban tanpa syarat. Wadian bisa laki-laki tapi pada umumnya perempuan yang sudah tidak mens lagi, berusia rata-rata  50 tahun atau lebih.

Wadian atau Bulian adalah semacam imam pada upacara-upacara proses kematian, dan proses kehidupan masyarakat Dayak. Wadian berasal dari kata {"B-Uli- an",  atau kata dasar "Ulin " } atau nama kayu besi Kalimantan. Di reduksi menjadi Wadian, atau Bulian. Wadian banyak karakternya dan bermacam-macam keakhliannya. Proses menjadi Wadian Kaharingan sangat-sangat  rumit, misalnya melalui: amukwadian (= semacam kejadian individu sakit tanpa penyebab berbulan-bulan dan tidak ada penyakit secara medis),  kemudian diproses belajar (mialut), dan 1001 pantangan, sampai itumang (menjadi wadian), minimal mampu 40 hari dan 40 malam tidak tidur, tidak buang air kecil besar, dan tidak boleh menginjak Tanah, tidak makan garam atau gula.

 Wadian Ijambe adalah “Wadian Paling Sakti”  disebut  Wadian Pamungkur, dengan alat utama: {Gelang, Sulumpiang, "Luwuk" (semacam pisau). Wadian ini bisanya lebih banyak menutup matanya ketika sedang menjalankan tugas}, dan tahan duduk berminggu-minggu.  Wadian ini bertugas di sekitar Tiang Ulin Adat. Atau symbol Tiang atau disebut “Tihang Lalu” di tengah rumah adat Balai, atau Tiang Bolontang, atau dalam dimensi luas pembangunan rumah di Dayak terlebih dahulu membuat tiang Ulin ditengah rumah, terbuat dari kayu Ulin. Wadian artinya lain pada dimensi fungsi “menghuni dulu baru membangun” atau menunjukkan pada “pusat, berjumpaan 4 arah angin. Semacam Tiang Agora di Yunani Kuna. 

Salah satu bunyi ayat special yang masih saya ingat adalah:” {…..isa rueh telu epat dime enem pitu walu suei sapuluh, kapululuh puluhan, ari aku ngilau ratu liat wungen taun. Sang katur rangsang, ari aku ngamule pinang hanang gampur purmata, gare ta’u hanyu jari kala awe kala bahum. Luwan aku nawut parei gilai. Ari aku nerau hanyu Nanyu Saniang, Nanyu Datu wunsiang galang tane riwut,….. dan seterusnya…}

Temuan Umum Hasil Penelitian: Kosmogoni meta narasi ada dua dialektika simbolik kemenjadian di dunia ini menurut tutur Hiyang Wadian (nama Wadian  yang saya lakukan penelitian : “alm. Ineh Sueh, Tu Salen, Tu Leker, Titi Kada, Tilli Kada, Tu Ilui, Tu Nyekur, Tu Buhan, dll”), terdapat 7 (tujuh) tetas air (Dara atau Wanita) jatuh kebumi dalam kegelapan, menjelma menjadi seluruh perangkat wadian. Ontologi  Kaharingan Pada Makna Kematian dan Kehidupan adalah  {"Tetesan Wangsa Air pertama, menjadi eksistensi manusia bertubuh, dan tetesan Wangsa Air  ke tujuh adalah kembali manusia tanpa tubuh"}.

Tafsir umum ada suatu paradigm dalam system pengetahuan universal Dayak yakni: {" Dua macam alat mengetahui dengan tubuh, dan mengetahui tanpa tubuh. Sedangkan Wadian Pamungkur, atau manusia Dayak sakti wajib melampaui kriteria tersebut, karena wajib paham tetesan 2,3,4,5,6., dan dua tetesan (Datu atau Laki-Laki)} . Maka alat mengetahui manusia Dayak adalah: (a) tubuh otonom, (b) tubuh dengan tubuh, dan (c) tanpa tubuh, tanpa tubuh. Tanpa tubuh itu ada tiga komponen: korelasi logika kalkulasi pada alam, waktu, dan makna. Maka seluruh kehidupan Dayak ada pada level itu. Sedangkan dengan tubuh, 5 panca indra, suara, system penceraan, dan seterusnya. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun