Mohon tunggu...
Bakrie Ahmad Faada
Bakrie Ahmad Faada Mohon Tunggu... Ilmuwan - Yakusa

Pemikir bebas

Selanjutnya

Tutup

Money

BUMN di Persimpangan

24 Januari 2020   18:26 Diperbarui: 24 Januari 2020   18:36 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sederet kasus bergulir menyeret Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjelang dan di awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Mulai dari kasus pemalsuan laporan keuangan oleh salah satu perusahaan maskapai terbaik di dunia milik Indonesia yang telah menjadi perusahaan publik, apalagi kalau bukan PT Garuda Indonesia Tbk. Hingga yang terbaru menjerat perusahaan asuransi tertua di Indonesia, yakni Jiwasraya yang mana berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpotensi merugikan negara hingga Rp 13 Triliun.

Selain daripada kasus-kasus kriminalitas, beberapa BUMN harus menanggung beban berat yang disebabkan oleh penugasan dan kebijakan dari pemerintah. Pembangunan infrastruktur secara masiv sebetulnya merupakan sebuah terobosan kebijakan yang progresif apabila dikelola dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rencana pembangunan itu, tidak didasari atas kecukupan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga  konsekuensi apa yang harus dilakukan, ya jelas berhutang. Beban hutang tersebut apakah dibebankan kepada pemerintah? Jawabannya adalah tidak. Lalu siapa? Kepada BUMN-BUMN Karya lah beban hutang tersebut dilimpahkan.

Mari kita ambil contoh kasus PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Tahun 2017, Waskita Karya merealisikan kontrak baru senilai Rp 27,08 Triliun. Namun, setelah kita telisik lebih dalam ternyata pada tahun yang sama, Waskita Karya membukukan hutang dengan rincian sebagai berikut. Berdasarkan data yang diperoleh hasil fundamental analysis pada aplikasi IPOT Ultima, hutang jangka pendek  (short term debt) perusahaan dengan kode emiten WSKT ini sebesar Rp 45,07 Triliun, sementara hutang jangka panjang (long term debt) tercatat sebesar Rp 20,663 Triliun.

Kemudian pada tahun 2018, short term debt meningkat 31% menjadi Rp 65,3923 Triliun dan long term debt meningkat 43% menjadi Rp 36,8394 Triliun. Rasio hutang terhadap modal (debt to equity ratio) mengalami fluktuasi tetapi berada di angka yang sangat tinggi yakni pada Quartal III Tahun 2017 -- 2019 secara berturut, 2,99, 3,78, dan 3,70. Angka tersebut bukan angka yang aman, beban yang berat bagi perusahaan untuk memenuhi kewajibannya.

Sebetulnya perkara hutang dengan jumlah besar yang dibebankan kepada BUMN-BUMN Karya seperti Waskita Karya dapat diminimalisir apabila skema proyek pembangunan infrastruktur tidak dimonopoli oleh perusahaan plat merah. Skema monopoli seperti ini juga berpotensi mematikan swasta bahkan BUMN lain. Seperti contoh BUMN  PT Krakatau Steel (Persero) Tbk. yang terancam pailit padahal pembangunan infrastruktur sedang gencar-gencarnya dan tentunya membutuhkan baja dalam jumlah besar. Skema monopoli ini juga penulis tengarai akibat adanya intervensi dari kepentingan kreditur yang membiayai pembangunan infrastruktur. Semisal tol dibangun dengan hutang, kemudian setelah jadi kepemilikan tol tersebut dijual ke perusahaan lain, tentunya dalam hal ini perusahaan yang memiliki kepentingan terhadap itu.

Solusi yang penulis tawarkan disini, kedepannya proyek-proyek dalam negeri juga harus menggandeng swasta. Apabila skema ini berjalan dengan baik, tentunya melalui skema tender yang fair, maka perekonomian akan bergerak maju seiring dengan produktifitas baik BUMN maupun swasta. BUMN juga tidak menopang beban besar sebagai instrumen utama dalam mendongkrak pendapatan negara, karena perannya terbantukan oleh swasta melalui penerimaan pajak.

 Idealnya, perusahaan BUMN orientasi bisnisnya adalah ekspansi ke luar negeri, sementara untuk pasar dalam negeri harusnya diberikan ke swasta. Memang pandangan ini sedikit liberal, namun kita bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Tiongkok. Perusahaan-perusahaan negara milik Tiongkok memiliki orientasi melakukan ekspansi bisnis ke luar negeri, sementara di dalam negeri swasta didorong bergerak meningkatkan produktifitas dengan cara membuka pasar seluas-luasnya untuk swasta. Atas kebijakan tersebut, UMKM di Tiongkok tumbuh sangat pesat sehingga kita bisa menyaksikan kisah Shenzen dengan transformasi sosial dan ekonominya yang meningkat sangat pesat.

BUMN hari ini menjadi dilematis dan berada dipersimpangan didirikan dengan tujuan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara untuk mensejahterakan rakyat dan mendongkrak perekonomian, namun pada praktiknya justru membebankan perekonomian negara. Merujuk laporan Menteri BUMN Erick Thohir di depan DPR pada awal Desember 2019, disebutkan total laba 142 BUMN mencapai Rp210 triliun pada 2018. Namun, hanya 15 perusahaan BUMN yang memiliki kontribusi terbanyak dari total pendapatan itu. Laba yang bisa dihasilkan kurang lebih Rp210 triliun, tapi 76 persen lebih dari 15 perusahaan BUMN saja. Artinya, BUMN masih dalam kondisi pareto (tidak optimum).

Tentunya kita TIDAK DAPAT MENGGENERALISIR bahwa seluruh BUMN adalah perusahaan yang buruk, masih banyak BUMN yang memiliki kontribusi besar terhadap negara. Namun, disini penulis hanya ingin menggambarkan, bahwa perlu ada strategi baru untuk mentreatment BUMN agar betul-betul tercapai tujuannya. Maka dari itu, perlu usaha yang keras dan kreatifitas bagi pemerintahan sekarang untuk membawa perekonomian negara Indonesia menjadi yang terkuat di Asia bahkan dunia.

Sederet kasus bergulir menyeret Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjelang dan di awal periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Mulai dari kasus pemalsuan laporan keuangan oleh salah satu perusahaan maskapai terbaik di dunia milik Indonesia yang telah menjadi perusahaan publik, apalagi kalau bukan PT Garuda Indonesia Tbk. Hingga yang terbaru menjerat perusahaan asuransi tertua di Indonesia, yakni Jiwasraya yang mana berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpotensi merugikan negara hingga Rp 13 Triliun.

Selain daripada kasus-kasus kriminalitas, beberapa BUMN harus menanggung beban berat yang disebabkan oleh penugasan dan kebijakan dari pemerintah. Pembangunan infrastruktur secara masiv sebetulnya merupakan sebuah terobosan kebijakan yang progresif apabila dikelola dengan baik. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rencana pembangunan itu, tidak didasari atas kecukupan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sehingga  konsekuensi apa yang harus dilakukan, ya jelas berhutang. Beban hutang tersebut apakah dibebankan kepada pemerintah? Jawabannya adalah tidak. Lalu siapa? Kepada BUMN-BUMN Karya lah beban hutang tersebut dilimpahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun