Risma Kurniawaty menyapu keningnya yang penuh keringat. Sore itu adalah momen terakhir untuknya berlatih karena esok ia akan mengenakan pakaian gemerlap sebagai mayoret. Cantik, sudah pasti -- karena mayoret itu ibarat bunga dalam bungkusan bila dibuka harum wanginya-- dan tinggi. Agak minder saya berdiri di samping Risma yang memiliki tinggi 168 cm. Tubuh semampainya seakan meliuk-liuk di tengah lapangan; memberi aba-aba kepada pemukul 'gendang' agar terus mengeluarkan nada indah mereka.
Lagu selesai dimainkan. Risma terduduk di sisi lapangan dengan sisa napas; terengah-engah menuju lelah tak terburai. Gadis kelas dua belas itu tetap tersenyum seperti biasa. Memang tak bisa saya pungkiri bahwa senyumnya membawa luluh hati penggawa cinta di sekitarnya. Ibarat dalam sebuah drama, Risma adalah tokoh utama yang selalu dikejar oleh tokoh pria pencari cinta untuk memadu kasih dengannya, dan si antagonis yang tak rela Risma bermain cinta dengan si tampan.
"Kamu kelihatan lelah banget, Ma," ujar Icut, si hitam manis yang selalu bersamanya.
"Kamu juga, kan?" Risma balik bertanya. Lalu tawa mereka membahana di antara angin sepoi-sepoi sore itu.
"Lelah sih, pasti. Tapi, aku selalu oleskan ini di leher atau di pergelangan tangan,"
"Wah, apa itu, Ma?"
"Ini lho yang selalu buat aku segar sepanjang hari,"
"Ohya? Masa kamu baru kasih tahu aku sih?"
"Aku pikir kamu sudah punya, Cut!"
"Belum. Aku mau dong!"
"Saya juga mau!" ujar saya sambil mendekat dua sahabat yang bagai sejoli tak mau dipisahkan dengan cara apapun.