Mohon tunggu...
Bai Ruindra
Bai Ruindra Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger

Teacher Blogger and Gadget Reviewer | Penulis Fiksi dan Penggemar Drama Korea | Pemenang Writingthon Asian Games 2018 oleh Kominfo dan Bitread | http://www.bairuindra.com/ | Kerjasama: bairuindra@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seandainya Saya Menag, 2 Jam Pelajaran Cukup untuk Hapus Imajinasi Dunia Maya

13 Juli 2018   14:13 Diperbarui: 13 Juli 2018   14:18 706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senyum siswi saat ini mudah didapatkan di media sosial - sumber foto: dokumen pribadi

Imajinasi dunia maya, begitu istilah yang bisa saya gambarkan ketika masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan teriakan, coret-coret papan tulis dan meja, bau keringat sehabis olah raga maupun ballpoint yang patah karena berebutan satu sama lain. Imajinasi lahir begitu saja, dengan mudah, tak terkendali dan menyasar kepada guru muda seperti kami yang dipandang paham betul dunia kekinian.

Tak mungkin kau bertanya kepada guru sesepuh, yang mungkin akan pensiun dua hari lagi, soal status Facebook beberapa menit lalu, atau trending topic Twitter yang disusupi iklan gratis, mungkin juga gambar-gambar dengan betis tak berkaos bebas dijajakan melalui sponsored post Instagram. Tanya itu akan tertuju kepada kita yang memiliki akun media sosial dimaksud, di mana dengan mudah pula siswa-siswi menambahkan pertemanan tanpa pikir panjang, dengan membuang tata krama bahkan menganggap biasa saja karena "Oh, nanti bisa kirim pesan ke Bapak kalau ada pelajaran rumit,"

Begitu mengalir imajinasi itu, tak terbendung dan tak bisa dikalahkan dengan soal-soal hitungan matematika sampai ratusan sebagai hukuman ribut di dalam kelas. Dalam imajinasi itu, mereka cengengesan bahkan saat pensil hampir patah dalam mengalikan satuan dengan puluhan. Tak ada rasa bersalah soal imajinasi di embun pagi, di siang terik dan juga di waktu hampir bel pulang berbunyi.

Imajinasi mereka tak bisa ditutupi karena ini adalah masa, ini hanya perubahan yang tidak bisa dihindari, ini zamannya sudah demikian. Tak perlu saya harus menyebut, "Oh, zaman Bapak dulu ini belum ada," karena memang pengembangan teknologi termutakhir baru sepuluh tahun terakhir. Facebook menjadi kekinian sejak smartphone mulai naik daun di atas tahun 2010. Twitter kemudian menyusul dan Instagram tak lama kemudian menjadi tren aplikasi berbagi foto yang bebas diakses oleh siapa saja.

Anak merengek, orang tua dengan bebas membelikan smartphone tipe terbaru yang baik untuk swafoto, gahar untuk main game, dan tentu harga mahal. Sekarang, lebih sulit menemukan feature phone dibandingkan melihat smartphone yang rata-rata di atas 5 inci. Jika dibiarkan, sekali saja, halaman sekolah, di dalam kelas, akan bersemak perangkat layar sentuh tersebut.

Update status, upload foto, cekikan di grup chatting; adalah hal yang sangat wajar di kacamata seorang siswa. Bahkan, guru pun berani bertanya kepada siswa yang lebih paham jika, "Handphone Bapak kok nggak mau konek ke internet ya?" di mana dengan sigap siswa yang ditanya memberikan solusi terbaik sampai smartphone itu kembali terhubung ke dunia maya, dengan notifikasi grup hampir membuat perangkat jatuh saking keras getarnya. Cepat. Gesit. Peka dan penuh imajinasi. Sekali lagi. Imajinasi. Dan imajinasi siswa soal teknologi terutama internet tidak bisa diracuni sehingga layu bahkan sampai mati.

"Bapak suka like foto cewek cantik ya?" itu karena mereka tahu aktivitas kita di dunia maya.

"Status Bapak kok aneh-aneh terus ya?" itu karena status kita mask ke timeline mereka.

"Bapak kok share berita itu, padahal belum tentu benar," misalnya saat kita salah bagikan informasi tanpa mengecek kebenarannya terlebih dahulu.

Tidak perlu ditangkal. Tidak perlu pula disebut 'haram' bahkan blokir seperti kejadian-kejadian yang telah lewat. Sekali lagi, ini adalah masanya. Tidak bisa dibendung. Tidak bisa ditutupi. Tidak bisa dilewatkan begitu saja. Ia mengalir seperti air maka kita ikuti arus tersebut dengan tertatih atau berlari kencang. Patut diingat bahwa hilang satu tumbuh seribu. Hukum ini sangat berlaku di dunia maya. Saat kita memblokir satu situs misalnya, tak berselang menit, situs yang sama akan kembali muncul hanya berbeda akhiran atau domain saja.

Misalnya, kita sebut situs.com mengandung unsur pornografi dan wajib blokir karena akan diakses oleh siswa-siswi yang masih polos. Maka, situs.com tumbang, tak lama akan muncul situs.net atau situs.xyz atau situs.me dan sejenisnya. Catatan penting bahwa pengelola situs adalah mereka yang mencari uang dengan cara demikian, mereka membutuhkan pengunjung untuk trafik dan klik iklan, mereka memiliki cadangan server di luar negeri yang mudah menghidupkan situs yang diblokir. Dalam mengibuli aturan main pemerintah yang kerapkali mudah goyah soal kebijakan, pengelola situs akan menanamkan server utama di negara-negara yang 'halal' akan perkembangan situs demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun