Mohon tunggu...
Baharuddin Riqiey
Baharuddin Riqiey Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum

.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menanggapi Hidupnya Kembali Pasal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam KUHP Indonesia

7 Desember 2022   07:00 Diperbarui: 7 Desember 2022   09:02 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah melewati perjalanan panjang kini Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri, meskipun ia berlaku 3 tahun sejak tanggal di undangkan (vibe Pasal 624 KUHP Indonesia). Patut kita apresiasi dan patut kita banggakan, karena pembahasan mengenai RKUHP ini sudah memakan lebih dari 50 tahun hingga bahkan para pakar yang dahulu turut membahas sudah ada yang meninggal. Akan tetapi dalam KUHP Indonesia ini masih memuat pasal-pasal kontroversi, dan memang betul pemerintah tidak bisa memuaskan seluruh pihak akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah mengapa mereka-mereka yang bersuara untuk menolak pasal-pasal kontroversi ini tidak dijelaskan mengapa pendapat mereka itu tidak diterima.

Jika melihat dalam Putusan MK Nomor 91/PUU-XIX/2021 disana memerintahkan para pembentuk undang-undang dalam membuat undang-undang harus melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Partisipasi publik yang bermakna setidaknya memenuhi tiga syarat, yaitu yang pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), yang kedua yaitu, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan yang terakhir yang ketiga yaitu, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Dan yang saya amati hingga saat ini tidak pernah ada kejelasan dari pembentuk undang-undang tentang mengapa pendapat itu diterima dan pendapat ini tidak diterima, dengan hal ini berpotensi tidak dilaksanakannya partisipasi publik yang bermakna.

Saya ambil contoh salah satu pasal kontroversi dalam KUHP Indonesia yang disahkan kemarin pada 6 Desember 2022, yakni pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pasal penyerangan harkat dan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden di dalam KUHP Indonesia ini tertuang dalam Pasal 218-220. Memang betul bahwa pasal ini berbeda dengan pasal yang dahulu di hapus dan dinyatakan bertentangan dengan UUD oleh MK, dahulu pasal ini bersifat delik biasa dan kini muncul dalam kondisi yang berbeda yakni bersifat delik aduan (vibe Pasal 220 ayat (1) KUHP Indonesia). Artinya bahwa yang dapat mengadu terkait hal ini adalah Presiden dan/atau Wakil Presiden itu sendiri. Namun yang aneh adalah dalam ayat (2) pasal tersebut aduan ini dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jika kita membaca kembali Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan keterangan Ahli yang di hadirkan maka sudah sangat jelas tidak ada urgensi atau kebutuhan kita untuk mengadopsi pasal tentang hal tersebut. Misalnya dalam salah satu pertimbangannya mengatakan bahwa "Martabat Presiden dan Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden".

Bahkan di akhir pertimbangan, Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa "tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Sehingga, dalam RUU KUHPidana yang merupakan upaya pembaharuan KUHPidana warisan kolonial juga harus tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana". Dalam pertimbangan tersebut sangat di tegaskan bahwasannya jangan sampai dalam RKUHP yang merupakan upaya pembaharuan KUHP warisan kolonial memuat pasal-pasal yang isinya SAMA atau MIRIP dengan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana. Ini semua adalah bukan soal perbedaan perspektif antara Hukum Pidana dan Hukum Tata Negara namun ini adalah soal Demokrasi yang kita anut selama ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun