Berbicara mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi kita dapat melihat di dalam Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD 1945 diantaranya yaitu: 1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan diberikan oleh Undang-Undang Dasar, 3. Memutus pembubaran partai politik, 4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan 5. Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Dari ketentuan di atas terdapat tiga pendapat, ada yang mengatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi itu adalah 4+1 kemudian ada juga yang mengatakan kewenangan Mahkamah Konstitusi itu ada 5, dan ada juga yang mengatakan dua-duanya itu benar karena pada intinya adalah berjumlah 5. Akan tetapi jika kita melihat Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 terlihat seperti ada penambahan kewenangan MK yaitu dapat "Memutus perkara perselesihan hasil Pilkada" sehingga ada yang menyebutkan bahwa kewenangan Mahakmah Konstitusi menjadi 5+1, 5 diatur didalam UUD dan 1 diatur didalam UU.
Mulanya yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada adalah Mahkamah Agung yang kemudian dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi hal ini bermula dari Putusan MK No. 072-73/PUU-II/2004. Kemudian jika kita melihat pada Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, MK mengatakan bahwa dirinya tidak berwenang untuk memutus perselisahan hasil Pilkada bahkan dalam pertimbangannya [3.12.5] MK mengatakan bahwa penambahan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan hasil Pilkada dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional.
Karena MK menilai bahwa Pilkada bukanlah termasuk ke dalam rezim Pemilu, sehingga MK memerintahkan untuk segera membentuk yang namanya Badan Peradilan Khusus guna memutus perselisihan hasil Pilkada akan tetapi selama Badan Peradilan Khusus itu belum terbentuk MK berwenang untuk memutus perselisihan hasil Pilkada hingga terbentuknya Badan Peradilan Khusus. Akan tetapi hingga saat ini Badan Peradilan Khusus tersebut tak kunjung di bentuk hingga akhirnya dalam Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 mengatakan MK berwenang untuk memutus perselisihan hasil Pilkada secara permanent.
Jika melihat hal itu artinya MK telah membatalkan putusannya sendiri, akan tetapi itu hal yang wajar saja namun terlihat seperti "memalukan" argumentasi Hakim sebelumnya. Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah Apakah boleh penambahan kewenangan MK itu didasari oleh UU? bukankah Pasal 24C UUD 1945 itu bersifat "close text"?, kemudian pertanyaan selanjutnya adalah apakah boleh pembentuk UU menambah atau mengurangi kewenangan MK? silahkan hal itu didiskusikan dan dijawab sendiri oleh pembaca.