Mohon tunggu...
Bagus Ubhara
Bagus Ubhara Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Pasca

Magister Hukum

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Penegakan Hukum Tipikor: Meributkan Sisi Formal, Melupakan Substansi (1)

7 Oktober 2017   19:08 Diperbarui: 30 Agustus 2020   11:58 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Seminggu ini kita disuguhi keriuhan luar biasa di dunia hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi. Mulai dari berita kemenangan Setya Novanto dalam Praperadilan melawan KPK, hingga kelanjutan debat akademik tentang OTT vs TT (operasi tangkap tangan, tertangkap tangan). 

Dari sisi akademik, bagi kami yang mendalami ilmu hukum, diskusi, diskursus, wacana yg ditampilkan oleh hampir semua media (online-cetak, televisi-internet, dst) memberikan pelajaran yang sangat berlimpah. Sy sendiri seminggu ini menjadi membuka banyak sekali buku-buku tentang tindak pidana korupsi. Diskusi berupa opini berbalas yang dihadirkan oleh Prof Eddy Hiariej dengan Prof Romli di media cetak, bergaung hingga ke dunia maya. Kami para mahasiswa hukum, merasa sangat beruntung menikmati diskusi yang sehat dan bermutu tsb. Sy bahkan berencana mengambil topik skripsi tipikor terinspirasi oleh keriuhan diskusi-diskusi seminggu ini di berbagai media tsb.

Jika kita perhatikan, ada dua topik utama dari diskusi-diskusi tersebut diatas, yakni, pertama tentang legalitas OTT (Prof Eddy pro, Prof Romli kontra).  Topik pertama ini memiliki beberapa unsur atau sub-topik di dalamnya, yaitu wewenang penyadapan, kemudian masalah interdiksi (menguntit dan menangkap), dan masalah entrapment (menjebak).  Kita perlu mengupas satu persatu secara ringkas krn ini hanya sebuah blog, bukan wadah akademis.

Masalah OTT dan unsur-unsurnya

Pertama, masalah penyadapan. Penyadapan KPK pada dasarnya sudah sangat jelas diatur dalam Pasal 12 (1) huruf a UU KPK . Disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Sehingga masalah ini seharusnya cukup clear bahwa KPK memiliki dasar hukum yang kuat utk melakukan penyadapan, dan hasil penyadapan bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah (sbg alat bukti petunjuk Pasal 26A UU Tipikor 2001). 

Yang seringkali membuat bingung masyarakat umumnya adalah, katanya pada kasus papa minta saham, alat bukti penyadapan dinyatakan tidak sah? Nah, pada kasus tsb, yg menggunakan dan melakukan bukti penyadapan bukan KPK. KPK sebagai lembaga superbody, memiliki banyak kewenangan khusus, banyak sekali memiliki kekhususan (lex spesialis), yang artinya menyimpangi dari ketentuan-ketentuan umum, baik dari sisi hukum materiil nya, maupun pada hukum formil nya. 

Penyadapan diatas adalah salah satu contoh sisi spesialis kewenangan KPK, dimana jika APH lain (aparat lembaga lain perlu ijin utk menyadap), KPK tidak membutuhkan ijin. Jikapun terdapat putusan MK menyangkut pengaturan penyadapan, hal itu tidak menghapus kewenangan KPK utk melakukan penyadapan. Banyak yg berpolemik disini menyangkut sisi perlindungan hak atau privacy orang lain. Namun sy akan menjawabnya nanti di bagian akhir tulisan ini.

Kemudian masalah entrapment (penjebakan). Masalah ini, sy mengikuti pendapat Prof. Eddy saja krn menurut pendapat sy pendapat beliau sudah cukup menjawab kontroversi masalah ini. Kita sering lihat di TV bgmn sebagian politisi berteriak-teriak bahwa apa yg dilakukan oleh KPK dalam OTT adalah sebuah penjebakan. Dan penjebakan itu melanggar hukum. Prof Eddy menjelaskan bahwa esensi penjebakan adalah usaha memikat musuh atau orang utk masuk ke dalam jebakan. Sedangkan KPK hanya mengikuti alur tersangka setelah melalui adanya laporan, di dalam konteks penyelidikan atau pun penyidikan, untuk kemudia menangkapnya. Sehingga tidak benar jika hal tsb disebut menjebak. Jawaban tsb sy anggap sudah cukup jelas. 

OTT vs TT

Masalah OTT, unsur-unsurnya sudah cukup jelas diatas. Sekarang kita perlu membandingkannya dengan TT (tertangkap tangan). Berbeda dengan OTT, TT adalah istilah hukum yang resmi ada dan diatur di dalam KUHAP (Kitab UU Hukum Acara Pidana), pada Pasal 1 angka 19. Definisi singkatnya, adalah, tertangkapnya seorang pembuat pidana, ketika sedang melakukan, atau sesaat setelah melakukan, perbuatan pidana.

Bagian yg sering luput dari perhatian adalah bagian akhir dari ayat tsb yakni, '.... apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yg diduga keras telah dipergunakan utk melakukan tindak pidana itu..... yg menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu'. Bagian akhir ini dalam ilmu hukum pidana disebut dengan konsep 'delneeming atau penyertaan'. Sebagai penyertaan, dia memperluas unsur pertanggungjawaban pidana sebuah delik, artinya, menentukan siapa saja yang bisa dianggap melakukan atau membantu melakukan shg harus dipertanggungjawabakan scr pidana. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun