Mohon tunggu...
Bagus Sudewo
Bagus Sudewo Mohon Tunggu... Gen Z | Contributor Writer

Salam Literasi!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dibalik Layar Muktamar PPP 2025: Strategi, Intrik dan Dampak bagi Pemilu Indonesia

28 September 2025   13:05 Diperbarui: 28 September 2025   13:05 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konflik internal PPP - Kubu Mardiono (instagram.com/muhamad.mardiono)

Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 26-27 September 2025 di Ancol, Jakarta, bukanlah sekadar forum pergantian kepemimpinan biasa. Di tengah kegagalan pertama kalinya memasuki Senayan pada Pemilu 2024 dengan perolehan hanya 3,87 persen suara, forum tertinggi partai Ka'bah ini menjadi momentum krusial yang akan menentukan masa depan politik Islam di Indonesia menjelang Pemilu 2029. [1][2][3]

Namun, dinamika yang terjadi justru dipenuhi intrik politik yang mencerminkan pergulatan internal yang dalam. Bagaimana dinamika internal akan memengaruhi peta koalisi politik nasional? Pertanyaan ini menjadi kunci untuk memahami dampak jangka panjang dari pergolakan yang terjadi di tubuh salah satu partai tertua Indonesia ini.

Latar Belakang Partai Persatuan Pembangunan dan Konteks Pemilu

Partai Persatuan Pembangunan yang lahir pada 5 Januari 1973 sebagai hasil fusi empat partai Islam---Nahdlatul Ulama, PARMUSI, PSII, dan PERTI---telah mengalami perjalanan politik yang panjang. Pada masa Orde Baru, PPP mampu mempertahankan posisi sebagai kekuatan oposisi utama. Namun era reformasi membawa tantangan berbeda ketika ruang politik terbuka lebar dan fragmentasi partai Islam menjadi keniscayaan.[4][5][6]

Pemilu 2019 menandai awal kesulitan serius PPP ketika mereka harus bergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja mendukung Jokowi-Ma'ruf, meskipun 43,2 persen konstituennya justru memilih Prabowo Subianto. Split ticket voting ini menunjukkan ketidakselarasan antara elite partai dengan basis massa yang berujung pada krisis legitimasi. Tekanan politik menjelang Pemilu 2025 semakin besar dengan munculnya wacana koalisi partai Islam nonparlemen yang melibatkan PPP, PBB, Partai Ummat, dan Gelora Indonesia sebagai respons atas marginalisasi politik Islam kontemporer.[7][8][9]

Kronologi Muktamar X PPP 2025: Konflik dan Kontroversi di Ancol

Muktamar X PPP yang berlangsung pada 27-29 September 2025 di Hotel Mercure Ancol mengusung tema "Transformasi PPP untuk Indonesia". Forum yang seharusnya menjadi ajang konsolidasi internal ini justru berubah menjadi panggung konflik terbuka antara dua kubu utama. Kubu pertama dipimpin Muhammad Mardiono sebagai Pelaksana Tugas Ketua Umum yang didukung 32 DPW, sementara kubu kedua mengusung Agus Suparmanto dengan dukungan 27 DPW.[10][11][12][1]

Konflik internal utama berpusat pada persaingan visi kepemimpinan antara kontinuitas versus perubahan radikal. Mardiono mewakili stabilitas dan pengalaman kepemimpinan yang telah memimpin partai sejak 2022 pasca-lengsernya Suharso Monoarfa. Di sisi lain, Agus Suparmanto sebagai mantan Menteri Perdagangan 2019-2024 dipandang sebagai wajah baru yang dapat membawa perubahan fundamental.[13][14][15][16]

Proses pemilihan diwarnai kericuhan hebat ketika pembukaan muktamar berlangsung. Bentrok fisik terjadi antara pendukung kedua kubu, bahkan melibatkan lemparan kursi dan menyebabkan beberapa kader harus dirawat di rumah sakit karena luka di kepala dan bibir. Situasi memanas ketika pimpinan sidang pertama, Amir Uskara, mengambil langkah kontroversial dengan menyatakan Mardiono terpilih secara aklamasi. Namun, sidang kedua yang dipimpin Qoyum Abdul Jabbar justru menetapkan Agus Suparmanto sebagai ketua umum melalui aklamasi terpisah.[17][14][15][18][16][19][20]

Hasil akhir dan reaksi kader mencerminkan perpecahan mendalam di tubuh PPP. Kedua kubu saling mengklaim kemenangan dengan legitimasi forum yang berbeda. Mardiono didukung oleh sidang yang dipimpin Amir Uskara dan mengklaim memiliki bukti CCTV sebagai dasar tindakan hukum, sementara Agus Suparmanto dikukuhkan dalam sidang paripurna yang berlangsung dini hari dengan dukungan mayoritas muktamirin. Dualisme kepemimpinan ini menciptakan ketidakpastian legal yang hanya bisa diselesaikan melalui Surat Keputusan Kementerian Hukum dan HAM.[14][15][19][21][22]

Strategi Politik Kubu Mardiono vs Agus Suparmanto

Strategi faksi pemenang dalam muktamar ini mencerminkan dua pendekatan politik yang kontras namun equally valid. Kubu Mardiono mengandalkan konsolidasi basis massa tradisional dengan menekankan legitimasi konstitusional melalui AD/ART partai. Mereka memainkan kartu stabilitas dan pengalaman, memanfaatkan jejaring kader yang telah dibangun selama kepemimpinan transisional. Konsolidasi ini terbukti efektif dalam mengamankan dukungan mayoritas DPW yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama dari daerah-daerah basis kuat NU tradisional.

Sebaliknya, kubu Agus Suparmanto menggunakan manuver politik modern dengan memainkan narasi perubahan dan profesionalisme. Sebagai teknokrat dengan rekam jejak di kabinet, Agus menawarkan wajah baru PPP yang dapat menarik pemilih rasional dan kelas menengah Muslim. Strategi mereka fokus pada mobilisasi kader muda dan jaringan birokrasi yang terbangun selama masa jabatan di Kementerian Perdagangan.

Intrik di Balik Layar: Lobi Elite dan Pola Aliansi Regional

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun