P‎engertian dan Makna Tumpengan
‎
‎Tumpengan berasal dari kata "tumpeng", yaitu nasi yang dibentuk menyerupai kerucut dan disajikan dengan berbagai lauk pauk di sekelilingnya. Tumpeng sering digunakan dalam berbagai acara penting sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Bentuk kerucut nasi tumpeng melambangkan hubungan manusia dengan Tuhan (vertikal) dan hubungan sosial dengan sesama manusia (horizontal).
‎
‎Tumpengan tidak sekadar makanan, tetapi juga sarat makna simbolik. Nasi kerucut dianggap menggambarkan gunung sebagai tempat suci, sementara lauk-pauk yang menyertainya mewakili keberagaman dan kelengkapan rezeki dalam hidup.
‎
‎Sejarah Perkembangan Tumpengan
‎
‎Tradisi tumpengan berakar dari budaya Hindu-Buddha di Nusantara, khususnya di Jawa. Pada masa itu, tumpeng digunakan dalam upacara-upacara adat atau keagamaan sebagai persembahan kepada dewa-dewa. Konsep tumpeng sendiri berakar dari filosofi "gunungan", yaitu simbol gunung sebagai tempat suci dan pusat kehidupan.
‎
‎Setelah masuknya agama Islam ke Indonesia, terutama melalui pendekatan budaya yang dilakukan para wali dan ulama, banyak tradisi lokal yang diislamkan—termasuk tumpengan. Tumpengan tidak lagi dipersembahkan untuk dewa-dewi, tetapi dijadikan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT. Upacara tumpengan menjadi bagian dari berbagai kegiatan Islam seperti selamatan, maulid nabi, syukuran aqiqah, hingga acara tasyakuran pembangunan masjid.
‎
‎Proses akulturasi ini menjadikan tumpengan sebagai simbol kultural Islam di Indonesia yang tetap mengandung nilai kebaikan, kebersamaan, dan rasa syukur.
‎
‎Apakah Tumpengan Diperbolehkan dalam Islam?
‎
‎Tumpengan sering menimbulkan perdebatan, terutama dalam konteks hukum Islam. Pertanyaannya: apakah tumpengan itu haram, bid'ah, atau justru boleh (mubah) dilakukan?
‎
‎Para ulama dan cendekiawan Muslim di Indonesia umumnya memandang bahwa tumpengan sebagai bentuk syukuran tidak bertentangan dengan ajaran Islam, asalkan tidak disertai unsur syirik atau keyakinan mistik yang menyimpang. Dalam Islam, mensyukuri nikmat Allah sangat dianjurkan. Sebagaimana dalam QS. Ibrahim ayat 7:
‎
‎"Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."
‎
‎Dengan demikian, selama acara tumpengan dilakukan sebagai wujud syukur kepada Allah SWT, disertai doa-doa yang sesuai ajaran Islam, dan tidak meyakini kekuatan magis dari makanan atau ritual tersebut, maka hukumnya boleh atau mubah.
‎
‎Namun, apabila tumpengan dilakukan dengan keyakinan bahwa makanan tersebut memiliki kekuatan tertentu, atau sebagai bagian dari ritual yang menyimpang dari akidah Islam, maka hal itu tidak dibenarkan dan bisa masuk dalam kategori bid'ah atau bahkan syirik.
‎
‎Tumpengan merupakan contoh nyata bagaimana budaya lokal bisa bersanding dengan ajaran Islam melalui proses akulturasi yang sehat dan mendidik. Dari warisan Hindu-Buddha, tumpeng kini menjadi tradisi syukuran umat Islam yang menggambarkan nilai kebersamaan, kesederhanaan, dan ketakwaan.
‎
‎Jika Anda tertarik memahami bagaimana Islam berkembang di Indonesia melalui pendekatan budaya seperti tumpengan, maka Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) adalah tempat yang tepat untuk menimba ilmu. Di UBSI, terdapat mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) yang membahas secara mendalam sejarah masuknya Islam di Indonesia, termasuk proses akulturasi budaya lokal seperti tradisi Hindu-Buddha yang kemudian menjadi bagian dari praktik keislaman. ‎Melalui pendekatan historis, kultural, dan teologis, mahasiswa UBSI diajak untuk memahami dinamika Islam Nusantara yang ramah budaya, penuh toleransi, dan tetap berpegang teguh pada akidah.
‎
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI